"Enak kalo dak ado Kakak, Adek bebas main. Dakdo yang ngatur-ngatur!" celoteh si adik, ia bercerita pada bonekanya yang terus saja tersenyum.
Aku tau perasaannya, hal yang sama pernah kurasakan lebih dari 20 tahun lalu. Di saat teman-teman bilang, enaklah kau, punyo kakak banyak!
Enak nian jadi anak bungsu, kalau bebalah dibelain terus!
Paling kecil di rumah, pasti disayang-sayang!
Sayang aku tak punya boneka, jadi tidak ada tempat curhat. Setelah 20 tahun lebih, baru di Kompasiana ini kuumbar semuanya. Ini loh, yang kurasakan ketika jadi yang paling ujung dari tujuh bersaudara.
Tidak Bebas Bermain
Petak umpet punya banyak nama, sesuai daerah tempat bermainnya. Di tempatku, namanya singitan, sumputan, dan main pancit. Kemudian ditambah "cabang" permainan yang konsepnya sama-sama sembunyi, namun dengan sarana yang berbeda. Ada lempar kaleng, gotri ala gotri, dll.
Apa yang membuat petak umpet begitu menyenangkan? Karena ada yang mencari. Kelihaian memilih tempat sembunyi, sensasi bertahan di persembunyian, dan adu cepat dengan penjaga, adalah hal yang membuat permainan jadi hidup.
Tapi semua itu tidak akan terjadi jika kamu datang ke lapangan bersama kakak yang usianya lima tahun di atasmu.
"Adek aku anak bawang, yo!" kata kakakku pada teman-teman yang sebagian besar memang lebih tua dariku.
Hambarlah sudah. Anak bawang berarti tidak perlu jadi penjaga meski ditemukan pertama. Sia-sia sembunyi, tidak akan dicari. Sembunyi sendiri, keluar sendiri, teriak sendiri. Tidak ada risiko jadi penjaga, sama dengan tidak ada tantangan.
Kali lain, ketika teman-teman protes karena ada yang usianya lebih muda dariku namun tidak jadi anak bawang, kakakku berkeras. Alhasil aku dilarang ikut bermain oleh mereka, dan harus puas hanya jadi penonton.
Lepas usia SD, kakak yang usianya paling dekat denganku dibanding yang lain itu, tak lagi cocok bermain di lapangan. Ia sudah remaja. Apakah aku bebas? Iya, tapi teman-temanku sudah tak asyik lagi diajak bermain. Sebentar-bentar dipanggil nyuci piring, sebentar-bentar disuruh emaknya nyapu. Dah lah, aku pulang, cari bundel Donal Bebek.
Baca juga: Alasan Kamu Butuh Kurma Walau di Luar RamadanÂ
Korban Titah
Oke, waktu kecil anak bungsu memang selalu dilayani. Kakakku ada enam. Makan ditawari, diambilkan sampai air minumnya juga. Bahkan sering disuap. Mau mandi air disiapkan almarhum Bapak, pergi sekolah disisiri, duit jajan banyak.
Itu waktu aku dan kakak-kakak sama-sama anak kecil. Ketika mereka sudah remaja ke atas, asli jadi babu! Ada yang haus, aku yang ambil minum. Ada yang butuh sesuatu, aku yang ke warung. Habis makan, aku yang angkat piring dan gelas ke dapur. Mamak Bapak entah ke mana, tak tau bungsunya jadi alat di rumah.
Pada masa itu pula hampir tiap hari kakak-kakak perempuan berantem, ada saja bahan keributan di rumah. Sepertinya pembagian tugas yang tak jelas, aku tak ingat persis. Aku dan dua kakak laki-laki tak ikut campur. Tapi begitu para perempuan mulai adu jotos, aku juga yang memisahkan.
Begitu lebaran tiba, aku yang minta maaf ke mereka!
Baca juga:Â Jangan Buru-buru Nikah Kalau Tak Mampu Jadi Ortu
Tidak Mandiri
"Tar, kau bilas aku nyuci, yo!" kata temanku saat kami di Palembang, hendak ikut tes STAN. "Dak yakin aku kalo kau yang nyuci."
Aku manut. Teman satu SMA beda kelas itu mengambil pakaian kami dari rendaman sabun, menyikat, lalu memasukkannya ke ember. Tibalah giliranku membilas.
Kulakukan seperti yang kulihat dilakukan kakakku. Rasanya sudah benar, tapi temanku protes. "Kok meras pakean kayak itu? Yang kuatlah!"
Kutambah tenaga, tapi temannku tak puas. "Sudahlah, aku bae yang bilas!"
"Aku nyuci?"
"Dak usah, pegilah ke depan sano!" aku diusir. Enak sih.
Saat kumpul keluarga besar, semua orang bekerja tapi semua pekerjaan sepertinya bukan milikku. Anehnya tak ada yang menegur, tak ada yang menginstruksikan supaya aku melakukan ini itu. Baik dari keluarga inti maupun para bibi.
Iya, enak. Tapi tidak begitu setelah berumah tangga. Tidak ada kakak yang mengurusi. Tak ada bapak yang menyiapkan ini itu. Semua pekerjaan rumah hanya mengandalkan insting perempuan ala kadarnya. Sekian tahun di awal pernikahan, aku lumayan stres menghadapi urusan rumah, terutama dapur.
Ke sininya sudah aman? Tidak juga. Pokoknya sulit dijelaskan panjang lebar. Tetangga, teman dan keluarga suami, tidak tau dan tak mungkin kuberi tau bahwa aku adalah bungsu berkakak banyak. Bukan apa-apa, aku hanya butuh pemakluman jika tak punya inisiatif mengambil pekerjaan saat berkumpul. Kalaupun teringat, khawatir salah.
Bukan tanpa alasan. Aku pernah ditertawai orang saat salah menjemur pakaian. Pernah bikin geleng-geleng teman kantor saat menyapu ruangan. Iya ketawa, tapi dalam hati aslinya sedih tau! Malu.
Dari sebanyak itu pengalaman tak menyenangkan, aku mengambil pelajaran. Anak bungsuku tak boleh bernasib sama dengan emaknya. Harus mandiri!
Btw setelah kubalik kalimat ini ke awal artikel, sepertinya sekarang yang "masalah" bukan adik, tapi kakaknya. Dia protektif seperti kakak-kakakku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H