">Si kakak sedang senang-senangnya belajar menyetrika. Karena bapaknya sering lupa bawa pakaian ke laundry, jadi klop. Biarlah ia menyetrika pakaiannya sendiri, belajar mengurus barang pribadi sambil berhemat sekaligus.
Saat menyetrika seragam sekolah, kupastikan ia melakukannya dengan sangat baik. "Guru kakak kan kebanyakan perempuan, perempuan itu kalau melihat sesuatu, detail. Kadang mulutnya diam, tapi seringnya komentar."
Sulungku itu manut. Mungkin karena ia melihat pada dirinya sendiri yang jika memandang sesuatu, juga rinci dan kadang refleks mengomentari. Aku sendiri mengalaminya, secara pribadi dan mengamati orang lain.
Suruh Istri Lihat Dulu!
"Bi, celananya kurang rapi itu! Ganti yang lain be, yang sewarna juga."
"Ah dak perlulah. Yang lain juga gini kok, dak ada yang merhatiinlah!" jawab suamiku. Lalu ia berangkat kerja tanpa peduli saranku.
Hal itu terjadi berkali-kali, sampai kemudian ia sendiri cerita. "Abi dipanggil yayasan, katanya pakaian Abi sering dak rapi dan dak matching. Tambah sedih lagi pas direktur bilang, 'Sebelum pergi itu suruh istri liat, sudah rapi belum?'"
Bukan main gondoknya. Untung suami sendiri mengaku sedih, karena selama ini masukan istri tidak dipakai dan istri juga yang terfitnah. Semua atasan beliau perempuan, sementara teman yang dijadikannya tolok ukur adalah laki-laki. Mudah-mudahan semuanya ditegur, hanya beda waktu saja.
Baca juga:Â Ketika Kakak Terkena Flek Paru
Mamanya Dak Perhatian!
Ketika si kakak di TK, psikolog sekolah menyarankan wali murid agar tidak memasukkan alat-alat sekolah anak ke tas. Orang tua cukup membantu menyiapkan, biarkan anak yang memasukkan sendiri ke tas mereka. Tujuannya agar anak-anak mengenali dan bertanggung jawab terhadap barang-barang mereka sendiri.
Ketika kakak duduk di kelas 1 SD, ia lupa memasukkan mukena yang sudah kuletakkan di sebelah tasnya. Alhasil ketika salat duha di sekolah, ia hanya mengenakan pakaian yang melekat tanpa dilapis mukena. Seharusnya tak masalah, selama auratnya tak terlihat. Tapi anakku itu sama dengan kebanyakan perempuan, telinganya tajam.
"Entah gimana anak satu ini, mamanya dak perhatian. Sudah dibilang suruh bawa mukena!" bisik wali kelas pada temannya.
Dua guru itu berbisik, tapi si kakak mendengar dan mengadukannya padaku saat kami dalam perjalanan pulang.
"Padahal mukenanya ...," kataku memancing.
"Sudah disiapin, tapi Kakak lupo masukin ke tas." Ia menjawab sambil berpikir, mungkin bingung mau menyalahkan siapa.
Jilbabnya Nabrak
Aku selalu kagum pada orang yang bisa menghafal pakaian orang lain, aku sendiri tidak punya kemampuan itu. Tapi aku baru menyadarinya belakangan, setelah bertahun-tahun satu kantor dengan beberapa makhluk detail ini.
Sebutlah namanya A. Sebagai karyawan biasa, kumaklumi jika ia memiliki koleksi pakaian yang tidak banyak. Sama sepertiku. Untuk apa juga punya pakaian yang banyak, cuma menghabiskan uang dan membebani Bumi.
Suatu kali A duduk di seberang mejaku. Kusadari bahwa jilbabnya kurang tepat jika dipadu dengan seragam kerja yang kami kenakan hari itu. Tapi sudahlah, tidak ada jaminan aku tidak pernah melakukan kesalahan yang sama.
Dua hari kemudian, jilbab yang sama dikenakan kembali oleh A. Kali ini lebih matching, tapi jaraknya menurutku terlalu dekat. Husy, aku benci dengan apa yang ada di benakku sendiri!
Tapi aku jadi punya ide, di lemariku ada beberapa jilbab dengan nuansa yang sama dengan pakaian yang dikenakan A hari itu. Pakaian bebas. Sementara jilbab-jilbab itu sudah lama tak dipakai. Kalau kuberikan pada A, dia tersinggung tidak ya?
Baca juga:Â Tes Kepribadian, Teman Seperti Apa Kamu?
Karena hari itu kami tidak mengenakan seragam kerja, aku pun memakai gamis potongan yang sebenarnya bersambung dengan celana. Tapi aku sudah tidak terbiasa mengenakan celana di luar, jadi diganti dengan rok.
Sepekan kemudian, celana sambungan dari gamis itu kujadikan dalaman rok karena bahannya tidak ngepas ke kaki, sehingga tidak membentuk lekuk tubuh, jadi aman kalaupun sedikit terlihat saat mengendarai motor.
Ketika aku mengenakan kaus kaki selepas salat, seorang teman yang berada di tempat yang sama tertawa. "Itu kan celana pasangan baju minggu lalu!" katanya.
Luar biasa! Dia hafal baju yang kukenakan sepekan lalu, sampai tau bahwa sekarang aku mengenakan celananya. Semoga ingatan yang sama juga dipakai untuk menghafal hal lain yang lebih bermanfaat.
Tapi karena kuatnya hafalan temanku itu, aku khawatir pakaian yang direncanakan kuberi pada A, diketahui teman-teman yang lain. Kasihan A jika saat ia kenakan, ada mulut yang mengomentari. Walau itu masih sebatas prasangkaku, dasar overthinking!
"Adanya ini, Kak," selorohku mengimbangi tawanya.
"Sumbanglah, Kak, koleksi Kakak kan banyak!" tau-tau ada B yang nimbrung. "Dak tu jilbab Kakak be, kasih ke A tu na. Tiap hari pake jilbab dak matching dengan baju, nabrak terus!" katanya dengan tawa innocent.
Ya ampun itu mulut!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H