Siapa yang waktu kecil dibacakan dongeng sebelum tidur? Aku nggak. Di rumahku tidak ada buku Cinderella, Tangkuban Perahu pun tidak ada. Kisah yang kudengar entah bangun atau akan tidur, adalah cerita tentang warung Mamak yang dulunya diisi belanjaan bermobil-mobil. Sementara sejak aku kecil sampai warung itu tutup, keadaannya berbeda jauh dengan cerita kakakku.
Mitos vs Fakta
Kakak perempuanku ada empat, yang sulung adalah anak yang paling patuh. Meski ia suka membaca, tapi ia tak ambil pusing perkara larangan. Asal itu berasal dari orang-orang tua, akan ia patuhi. Termasuk larangan duduk di lorong pintu, akses orang lalu lalang.
"Bukan bikin berat jodoh, tapi ganggu orang lewat!" katanya. Walau begitu, larangan itu ia patuhi setidaknya sampai kami sama-sama sudah berumah tangga.
Sementara aku, bermodal "dalil" darinya, selalu santai duduk di depan pintu. Dalam agama tidak dilarang kok. Kalau belum ada yang lewat, tak ada salahnya duduk menampung angin di sana.
Begitu pula dengan memotong kuku di malam hari, yang menurut mitos tergolong tabu. Makan menggunakan baskom, menabuh meja, dll. Aku juaranya. Menantang adat? Tidak juga. Aku bahkan tidak tau itu adat mana. Yang jelas, aku jarang dimarahi. Aturan itu berlaku bagi kakak-kakak. Anak bungsu mah bebas.
Nyatanya kakak sulungku, karena sibuk mengurusi adik-adiknya yang banyak ini, malah menikah belakangan. Padahal ia tidak pernah duduk di depan pintu. Bersyukur kutukan mitos itu juga tidak mengenaiku, meski tak terhingga jumlahnya kulanggar aturan kuno tsb.
Baca juga: Isra Mikraj Serasa Dongeng Gara-gara Penceramahnya
Fiksi vs Nonfiksi
"Mi, tugas kakak bikin ringkasan buku nonfiksi," kata si kakak. "Yang mano itu?"
"Yang di kamar kakak itu nonfiksi semua, yang fiksi di sini," jawabku.
"Kisah nabi-nabi itu kan nonfiksi, nah yang alam-alam ini?"
"Samo. Itu nyata. Kalau fiksi itu dikarang-karang, fiktif."