Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aku dan Dongeng

20 Maret 2021   07:00 Diperbarui: 20 Maret 2021   18:29 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andrew Neel on Unsplash

Siapa yang waktu kecil dibacakan dongeng sebelum tidur? Aku nggak. Di rumahku tidak ada buku Cinderella, Tangkuban Perahu pun tidak ada. Kisah yang kudengar entah bangun atau akan tidur, adalah cerita tentang warung Mamak yang dulunya diisi belanjaan bermobil-mobil. Sementara sejak aku kecil sampai warung itu tutup, keadaannya berbeda jauh dengan cerita kakakku.

Mitos vs Fakta

Kakak perempuanku ada empat, yang sulung adalah anak yang paling patuh. Meski ia suka membaca, tapi ia tak ambil pusing perkara larangan. Asal itu berasal dari orang-orang tua, akan ia patuhi. Termasuk larangan duduk di lorong pintu, akses orang lalu lalang.

"Bukan bikin berat jodoh, tapi ganggu orang lewat!" katanya. Walau begitu, larangan itu ia patuhi setidaknya sampai kami sama-sama sudah berumah tangga.

Sementara aku, bermodal "dalil" darinya, selalu santai duduk di depan pintu. Dalam agama tidak dilarang kok. Kalau belum ada yang lewat, tak ada salahnya duduk menampung angin di sana.

Begitu pula dengan memotong kuku di malam hari, yang menurut mitos tergolong tabu. Makan menggunakan baskom, menabuh meja, dll. Aku juaranya. Menantang adat? Tidak juga. Aku bahkan tidak tau itu adat mana. Yang jelas, aku jarang dimarahi. Aturan itu berlaku bagi kakak-kakak. Anak bungsu mah bebas.

Nyatanya kakak sulungku, karena sibuk mengurusi adik-adiknya yang banyak ini, malah menikah belakangan. Padahal ia tidak pernah duduk di depan pintu. Bersyukur kutukan mitos itu juga tidak mengenaiku, meski tak terhingga jumlahnya kulanggar aturan kuno tsb.

Baca juga: Isra Mikraj Serasa Dongeng Gara-gara Penceramahnya

Fiksi vs Nonfiksi

"Mi, tugas kakak bikin ringkasan buku nonfiksi," kata si kakak. "Yang mano itu?"

"Yang di kamar kakak itu nonfiksi semua, yang fiksi di sini," jawabku.

"Kisah nabi-nabi itu kan nonfiksi, nah yang alam-alam ini?"

"Samo. Itu nyata. Kalau fiksi itu dikarang-karang, fiktif."

"Oh gitu. Bukan fiksi itu cerito-cerito, nonfiksi berita-berita."

"Berita jugo biso dikarang-karang, banyak. Kalau cerito nabi-nabi itu asli. Yang cerito detektif dekat laptop Ummi itu karangan."

Si kakak berpikir sebentar. Hari itu ia sibuk memahami antara fiksi dan nonfiksi dengan memilah buku-buku di rumah. Untunglah ia belum membaca novel sejarah, bakal repot menjelaskannya.

Dongeng vs Sejarah

"Jangan ngelawan Mamak, kagek jadi batu kayak Malin Kundang!" pesan kakak sulungku.

"Alah, Malin Kundang tu ketemu batunyo dulu, baru dibikin cerito," kata kakak nomor empat.

Kemudian para remaja itu pun berdebat mempersoalkan apakah Malin Kundang benar-benar penah hidup, apakah batunya ditemukan atau dibuat, dll. Aku tak ingat ujungnya, namun hingga remaja pula baru aku yakin bahwa Malin Kundang adalah dongeng semata.

Mitos, fiksi, dan dongeng adalah hal yang saling berbeda. Tapi semuanya sama-sama nyata di kepala aku kecil. Entah akunya yang kurang pintar, atau yang menyampaikannya kelewat pintar. Sehingga baik Malin Kundang maupun Firaun, sama-sama samar di benakku.

Baca juga: Malin Kundang versi Cerpen

"Dulu Mamak ke Angsoduo bukan pake sangkek, tapi Datsun!" kata kakak laki-laki saksi sejarah. Tapi aku tak bisa membedakan kadar kebenaran kisah itu dengan cerita Lucky Luke pada masa California gold rush. Tumpang tindih dengan pengakuan tetangga yang melihat hantu gelantungan di teras rumahku, juga kenanganku sendiri melihat tarsius di pohon macang depan rumah.

Semua tumpuk undung di kepalaku. Itulah sebabnya aku tak pernah membacakan dongeng untuk anak-anakku saat mereka hendak tidur. Lagipula, setiap pegang buku anak-anak menjelang tidur, aku yang lebih dulu habis-habisan menguap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun