"Ramah nian tante tu kalo belanjonyo samo Ummi. Kalo kami-kami yang belanjo, kau nak apo? kau beli apo? Suaronyo kenceng, mukonyo asem," adu si sulung saat kami baru saja membeli gorengan di sebuah warung.
 "Ya sudahlah, dak usah jajan di situ," saranku.
"Emang ndak. Kakak malas beli di tempat orang-orang yang dak ramah," katanya.
Tanpa perlu tes DNA, terbuktilah kalau dia memang anakku. Di blok sebelah, ada seorang ibu yang juga menjual gorengan. Pernah sekali waktu aku mengantre di belakang. Saat pembeli lain sudah pergi, aku pun maju untuk memilih.
Ketika kutanya nama salah satu penganan yang ia jual, ia diam saja. Karena kupikir tidak dengar, jadi kukeraskan suara (nadanya tidak). Alih-alih menjawab, ia hanya melihat padaku dengan wajah cemberut. Aneh kan.
Ya sudah, mungkin ia dagang sekadar hobi. Tak butuh uang. Jadi kubatalkan niat membeli. Kejadian itu sudah berlalu hampir tiga tahun. Hingga detik ini, tak pernah warung itu kudatangi lagi.
Tanggal 15 Maret adalah Hari Hak Konsumen Sedunia. Biasanya yang kita ingat adalah hak pembeli terkait informasi produk, layanan pada usaha yang jauh lebih besar, dan hal-hal pelik yang urusannya harus melalui jalur hukum.
Hal remeh temeh kelas rumah tangga jarang ada yang memperhatikan, cuma penulis konten receh ini yang ingat, karena punya banyak pengalaman di sana. Tapi aku punya pengalaman lain selain dengan warung gorengan.
Baca juga: Ciri Kepribadian Dilihat dari Kebiasaan
Dua Satpam Lebay
Satpam pertama menarik tas sandang yang kukenakan. Kejadiannya sudah lama sekali, zaman muda. Waktu itu belum umum pusat perbelanjaan membuat aturan wajib menitipkan tas. Apalagi swalayan yang kudatangi hanya minimarket kecil.
Mungkin ada aturan baru yang mewajibkan pembeli untuk menitip tas (biasanya tempat penitipan disediakan hanya untuk yang mau nitip, kalau tas mau dibawa, ya terserah). Sementara aku yang tak melihat informasi apa pun, biasa saja nyelonong dengan tas di bahu.
Tiba-tiba seorang satpam mengadang, katanya aku wajib meninggalkan tas di penitipan. Karena hanya butuh membeli sebungkus kerupuk untuk snack rapat, jadi aku menolak. Mengingat kebiasaanku meletakkan uang begitu saja di dalam tas, akan repot jika aku harus mengumpulkan dulu lembar-lembar yang ada, dipegang begitu saja bersama HP hingga selesai mengambil satu item saja.
"Pak, saya cuma mau ambil kerupuk itu," kutunjuk sederet kerupuk di rak. "Tolong ambilkan be lah kalau dak boleh masuk."
Ia tegas menolak.
Ya sudah, aku maju mengambil barang yang hendak dibeli. Si satpam dengan penuh emosi menarik tasku. Wow, aku pun emosi saudara-saudara ... dan kami adu mulut di sana. Aku tau, orang akan langsung melihat pada jilbabku. Biasanya gitu.
Kutoleh CCTV. Terbayang saja di benak, owner swalayan pasti melihat kejadian ini. Lalu siapa yang dianggapnya bersalah?
Seharusnya sejak kejadian itu, aku enggan ke swalayan tersebut. Namun tak kurang sepekan, aku ke sana lagi. Tentunya karena aku tak membawa tas. HP dan uang di saku semua. Ternyata per hari itu hingga kini, si satpam tak pernah terlihat lagi.
Mungkin dia sudah jadi satpam di tempat lain, jadi tukang jagal, atau malah manager sebuah perusahaan. Who knows?
Satpam kedua, menyuruhku belanja di tempat lain. Agak konyol memang yang satu ini. Masih urusan titip menitip tas. Kali ini di swalayan lain yang cukup besar.
Waktu itu aku membawa tas punggung berisi laptop. Satpam meminta dititip, tapi kujelaskan bahwa isinya adalah laptop, yang tidak mungkin ditinggal. Di swalayan lain yang jauh lebih besar, jika kita menyebut laptop, maka ia hanya perlu memasang segel di ransel.
Satpam ini memintaku membuka tas untuk membuktikan klaimku. Oke, ransel kubuka di hadapannya. Jelas sebuah laptop ada di sana. Aku pun masuk untuk belanja. Anehnya, dia tetap saja ngedumel di belakangku.
Ketika keluar dari swalayan, masih saja ia memandangiku, seolah tidak puas. Maka kubuka lagi ransel di hadapannya. "Mau liat, jangan-jangan aku nyolong barang?"
Ia ngamuk! "Dak usah belanjo sini, cari be tempat lain!" katanya.
Buset, ternyata dia bukan cuma seorang satpam. Tapi juga pemiliknya! Cuma pemilik usaha kan, yang berani menolak konsumen yang datang.
Sama seperti satpam sebelumnya, yang ini juga hari-hari berikutnya tak kutemukan lagi sosoknya di tempat biasa. Tetangga sebelah rumah mengaku kehilangan HP di swalayan yang sama, gara-gara ia menitipkan tas berisi HP saat belanja.
Baca juga: Sumpah Bodoh di Dalam Masjid
Pemilik Toko Komputer Arogan
Di antara sekian toko komputer yang ada di kotaku, hanya sebagian kecil yang dimiliki orang Melayu. Itu pun rata-rata kelas pengecer. Ada satu penyedia spare part sekaligus servis yang lumayan besar yang dimiliki warga lokal. Mungkin bukan satu-satunya, tapi hanya satu itu yang kuketahui.
Semata alasan solidaritas, aku sering membeli kebutuhan rumah dan kantor yang berkaitan dengan komputer di sana. Sampai suatu kali, dengan maksud bercanda, aku mengomentari harga sebuah headset.
"Wah, mahal, ya," kataku.
Normalnya, penjual bisa menawarkan produk lain yang lebih murah. Atau memberitahu alasan kenapa produk tersebut mahal. Sekadar senyum juga boleh.
Tapi tuan kaya itu malah menjawab dengan nada ketus, "Kalau mau beli, dak mau sudah. Cari be yang murah di tempat lain!" lebih kurang begitu, aku tak ingat tepatnya.
Meski uangku cukup untuk membeli, tapi karena jawabannya begitu merusak hati, jelas kubatalkan rencana. Sampai kini tak pernah aku ke sana. Tokonya pun tak ada lagi. Dulu dia punya sedikitnya tiga cabang, sekarang tinggal satu antara hidup dan mati.
Mungkin bukan cuma aku yang dihadiahi omelannya. Ada orang lain yang juga sakit hati lalu refleks mendoakan. Mungkin loh, ya!
Aku bukan pedagang apalagi pebisnis. Tapi sebagai konsumen level entahlah, tak apa kan kalau kuberi saran pada orang-orang. Kalau tak bisa tahan emosi, sebaiknya jangan berdagang! Dan jangan jadi satpam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI