Ketika keluar dari swalayan, masih saja ia memandangiku, seolah tidak puas. Maka kubuka lagi ransel di hadapannya. "Mau liat, jangan-jangan aku nyolong barang?"
Ia ngamuk! "Dak usah belanjo sini, cari be tempat lain!" katanya.
Buset, ternyata dia bukan cuma seorang satpam. Tapi juga pemiliknya! Cuma pemilik usaha kan, yang berani menolak konsumen yang datang.
Sama seperti satpam sebelumnya, yang ini juga hari-hari berikutnya tak kutemukan lagi sosoknya di tempat biasa. Tetangga sebelah rumah mengaku kehilangan HP di swalayan yang sama, gara-gara ia menitipkan tas berisi HP saat belanja.
Baca juga: Sumpah Bodoh di Dalam Masjid
Pemilik Toko Komputer Arogan
Di antara sekian toko komputer yang ada di kotaku, hanya sebagian kecil yang dimiliki orang Melayu. Itu pun rata-rata kelas pengecer. Ada satu penyedia spare part sekaligus servis yang lumayan besar yang dimiliki warga lokal. Mungkin bukan satu-satunya, tapi hanya satu itu yang kuketahui.
Semata alasan solidaritas, aku sering membeli kebutuhan rumah dan kantor yang berkaitan dengan komputer di sana. Sampai suatu kali, dengan maksud bercanda, aku mengomentari harga sebuah headset.
"Wah, mahal, ya," kataku.
Normalnya, penjual bisa menawarkan produk lain yang lebih murah. Atau memberitahu alasan kenapa produk tersebut mahal. Sekadar senyum juga boleh.
Tapi tuan kaya itu malah menjawab dengan nada ketus, "Kalau mau beli, dak mau sudah. Cari be yang murah di tempat lain!" lebih kurang begitu, aku tak ingat tepatnya.
Meski uangku cukup untuk membeli, tapi karena jawabannya begitu merusak hati, jelas kubatalkan rencana. Sampai kini tak pernah aku ke sana. Tokonya pun tak ada lagi. Dulu dia punya sedikitnya tiga cabang, sekarang tinggal satu antara hidup dan mati.