Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tak Ada LDR yang Sempurna

21 Februari 2021   16:54 Diperbarui: 21 Februari 2021   17:23 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shelby Deeter on Unsplash"

Waktu kecil, hampir tiap libur sekolah, aku diajak Mamak ke rumah adiknya di luar kota. Naik bus, sambung angkot, kadang dilanjutkan lagi dengan jalan kaki jika kondisi jalan sedang jelek.

Seingatku dulu, sepupuku di sana ada empat orang. Entah mulai kelas berapa, kami kemudian mendatangi adik ibuku itu di tempat yang berbeda-beda.

Ketika kembali ke kota, dan bertemu adiknya yang lain, Mamak sering ngomel. "Senang nian nempel ke laki. Tinggal tunak di rumah, biarlah suami cari makan balek sekali-sekali."

Bukan tanpa sebab, Mamak kesal karena empat keponakannya putus sekolah disebabkan harus berpindah-pindah tempat tinggal. Adik Mamak bekerja sebagai mandor di perusahaan sawmil, gajinya besar, jadi sayang ditolak.

Sementara istrinya tak mau LDR (istilah ini jelas belum dipakai waktu itu). Jadi mereka ke sana kemari beramai-ramai, pindah dari satu mes ke mes lain. Rumahnya ditinggal, bahkan kadang Idulfitri pun mereka tak pulang.

Meski tidak dimaksudkan bercerita padaku, karena omelan itu sering berulang jadi aku pun terkenang. Kala itu aku setuju pada Mamak, karena sepupu-sepupuku akhirnya tidak sekolah. Tapi kini, aku berpihak sepenuhnya pada bibiku. Untung beliau bersikukuh ikut suaminya. Kalau tidak, mungkin sekarang sepupuku tidak jadi tujuh. Malah mungkin dia bukan lagi ipar ibuku.

Baca juga: Cerpen Psikologi Perempuan dan Keluarga

Dakwah yang Memakan Korban

Tersebutlah seorang pemuda yang sedang semangat-semangatnya beragama. Euforia hijrah membuatnya mantap meninggalkan kampus demi cita-cita yang lebih tinggi lagi; surga. Itulah kenapa euforia selalu butuh rem. Jika tidak, semangat tinggi biasanya tak imbang dengan pemahaman.

Anggaplah namanya Amin, ilmu agama yang masih sedikit harus segera diamalkan. Maka dalam usia muda Amin menikah, kemudian melanjutkan semangat ibadah dengan berdakwah ke berbagai tempat.

Atas nama dakwah, Amin meninggalkan keluarganya. Kala itu mungkin ia belum tau, bahwa amalnya justru lebih dibutuhkan anak dan istri ketimbang orang yang jauh di sana. Dakwah di luar rumah bisa dilakukan orang lain, tapi menafkahi dan mendidik keluarganya (yang juga bagian dari dakwah) hanya wajib dilakukan olehnya.

Ada berbagai tempat yang kerap didatangi Amin. Konon, laki-laki tak terbendung jika syahwatnya sedang naik. Jadi untuk menghindari zina, Amin menikah lagi. Dengan dalih poligami tak perlu izin istri sebelumnya, ketika pulang Amin tinggal cerita. Bahwa ia sudah menikah di sana, punya keluarga baru di sini, menikahi perempuan di situ. Total empat rumah.

Belum, Amin belum punya rumah satu pun. Semua mengontrak. Anak-anaknya juga tidak sekolah, istrinya ribut karena tak kuat menanggung beban, yang jika anak sakit pun, Amin tak akan pulang atas nama dakwahnya. Akhirnya tersisa hanya satu istri, tiga orang diceraikan. Tapi anak dari istri dan mantan, sampai kapan pun tetap anaknya.

Dari selusin lebih anak-anak itu, aku mengambil pelajaran. LDR sebaiknya dilakukan sesingkat-singkatnya, pada momen tergenting yang urusannya antara hidup dan mati. Jika masih ada opsi lain, lebih baik pilih selain LDR.

Baca juga: Jangan Rusak Kesan Pertama dengan 5 Kesalahan Ini

Setelah Dua Puluh Tahun Lebih

"Saya tujuh tahun kerja di kapal ... saya putuskan berhenti, lebih enak dekat dengan anak dan istri ..." Seorang bapak bertampang ramah bercerita pada guru dari anaknya.

Aku tertegun, tujuh tahun berpisah ternyata aman-aman saja. Begitu pula kisah seorang lain, yang juga bekerja di kapal. Sekarang si bapak sudah pensiun, sebelumnya selama bertahun-tahun hidup jauh dari keluarga. Dan kini ia jadi makin akrab dengan anak-anaknya yang sudah dewasa.

Mereka adalah contoh yang beruntung, berbeda dengan anak-anak Amir. Sebut saja begitu namanya. Bertahun-tahun Amir bekerja di kapal, berlayar hingga keluar Indonesia. Tiap enam bulan pulang, kiriman ke keluarga juga lancar.

Istri Amir pun menaruh kepercayaan penuh pada suaminya. Tak mungkin ia ikut berlayar, anak-anak harus sekolah. Dan mungkin juga tidak ada fasilitas untuk keluarga di kapal.

Kemudian, datanglah kabar gembira. Sang suami tak lagi mendapat tugas antarpulau antarnegara. Tapi sudah menetap di pulau tertentu, beda tempat dengan keluarga. Istri Amir terpikir untuk ikut pindah ke pulau tersebut, tapi sang suami tak juga memberitahu alamatnya.

Kabar yang datang kemudian adalah, ia sudah punya keluarga baru dengan dua balita di pulau itu. Anak-anak dari istri lama yang sudah beranjak dewasa, diminta maklum. Itulah sebab ayah mereka sudah dua tahun lebih tak mengirim nafkah.

"Papa akan tetap jadi wali nikah kalian," begitu pesan Amir pada anak-anaknya yang semua perempuan. Menunjukkan tanggung jawabnya, meski putus nafkah lebih dari 6 bulan berturut-turut sudah memutus hubungannya dengan ibu mereka.

"Kami sakit hati, Kak. Tapi kami rindu Papa," ucap salah satu dari tiga bersaudara itu padaku.

Sepupuku yang sekarang jadi tujuh, semuanya berhasil punya ijazah. Barangkali ikut paket C. Mereka kuliah, menikah, dan bekerja atau buka usaha walau dulu pontang-panting mengikuti orang tuanya.

Aku tidak tau mana yang ideal. Yang jelas aku tak mau jempalitan bersama anak menguber-uber suami, tapi lebih tak mau lagi anakku memiliki saudara sebapak tak seibu. Entahlah, jadikan pelajaran saja. LDR itu berat, Pak!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun