Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Pengakuan Yuk Kembang yang Kawin Lari

7 Februari 2021   07:07 Diperbarui: 7 Februari 2021   08:22 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Beatriz Pérez Moya on Unsplash

Aku tidak mengenalnya. Bahkan sampai sekarang, jika mengingat ceritanya, aku harus berpikir keras lagi, siapa ya nama ayuk itu? Ayuk adalah sapaan akrab perempuan yang lebih tua. Biasa diucapkan masyarakat Jambi dan Sumsel.

Ceritanya sih tidak unik, justru sebaliknya, terlalu pasaran, bahkan mirip sinetron. Anggaplah namanya Kembang, biar lebih cewek. Kalau kembung, pasti masuk angin. Bukan, itu nama ikan yang ternyata gizinya lebih banyak dari salmon. Halah.

Yuk Kembang bercerita, entah pada siapa. Waktu itu kami duduk berjajar di sebuah rumah, dalam rangka gotong-royong acara pernikahan. Berjarak satu orang dariku, suara Yuk Kembang mungkin kedengaran sampai rumah tetangga. Jadi wajar telinga mudaku bisa mendengar dengan jelas, insting kompasianerku bangkit!

"Aku ketemu dio di acara itu ha. Abis acara dikenalinlah kami samo ayuk itu. Abis tu seringlah dio datang, ngajak jalan. Entah bodoh nian aku, sir nian aku samo dio sampe mau diajaknyo kawin lari."

Semua orang khusyuk mendengarkan. Mana ada emak-emak tak tertarik kisah begini. Minimal bisa jadi bahan bersyukur, suami di rumah tak segila suami Yuk Kembang.

"Sakit nian hati aku kalo ingat dio. Kerjo sehari, abis tu tidur-tidur dio tigo hari. Malasnyo setengah mati! Tiap pagi emaknyo ngantar nasi untuk sarapan anaknyo. Sebungkus dikasihnyo! Untuk anak dio bae, menantu samo cucu ni dak masuk hitungan. Belum lagi kalo aku ke rumah keluarganyo, jadi pembantu. Semua digawein tapi aku dak ditoleh."

Aku yakin, kepala pendengar lain juga pasti berkecamuk. Siapa yang paling bersalah?

"Aku nak ngadu ke keluarga aku, dak mungkin. Salah aku dewek mau kawin samo dio. Entahlah, mati nian aku hidup samo dio. Nyesal nian aku ketemu dio."

Baca juga: Menikah Tanpa Cinta, Yakin?

Kawin Lari

Mendengar kata kawin lari, aku selalu terbayang penghulu yang berlari-lari mengejar pasangan pengantin. Jelas bukan itu maknanya, tapi siapa yang bisa menyalahkan imajinasi?

Imajinasi berbeda dengan impian. Aku tidak berharap ada atlet maraton yang jadi petugas KUA, sementara Yuk Kembang memiliki mimpi yang lebih terkesan sebagai buah imajinasi. Ia berharap, tapi hasilnya tak sesuai harapan. Karena upayanya juga tak seimbang.

Berharap hidup bahagia dengan mengabaikan restu orang tua. Hm, berat, Bung! Memang, orang tua bukan manusia maksum, tapi jasanya jelas jauh lebih banyak ketimbang laki-laki/perempuan yang mencuri hatimu.

Orang tua sudah terbukti mencintai dan menanggung hidupmu hingga belasan bahkan puluhan tahun. Malah sejak kamu belum dilahirkan. Orang yang kamu cintai itu, baru berencana mengorbankan hidupnya. Cuma sebatas niat, itu pun kalau memang niatnya ada.

Kecuali jika orang tuamu sejak dulu terbukti keparat betul. Tak peduli, tak menghidupi, bahkan menjualmu seperti budak kepada orang-orang biadab. Ah, parahnya.

Jika tak ada lagi alasan syar'i untuk menghormati mereka, silakan cari wali hakim untuk menikahkan kalian agar terhindar dari zina. Agar ada yang menaungi dari kejahatan orang tua durjana. Itu jika hidupmu memang begitu malangnya.

Tapi jika orang tua hanya melarang karena calonmu belum bekerja, itu sangat logis. Mereka lebih dulu merasakan pahitnya hidup. Masih ada jalan lain, alih-alih meninggalkan ridho mereka yang akan kamu butuhkan sampai beranak cucu.

Baca juga: Apakah Mentalmu Sekuat Yuk Kembang? Cek di Sini!

Bertanggung Jawab terhadap Keputusan

Pada akhirnya, Yuk Kembang berpisah dengan suami yang katanya tukang kawin tapi pemalas itu. Yang menarik bagiku, adalah upayanya untuk memperjuangkan hidup.

"Kau nak pisah dari aku, nak makan apo kau?" cerita Yuk Kembang menirukan ucapan mantan suaminya.

Selalu ada hikmah di setiap kejadian, kita ambil tanpa perlu menunggu hal itu terjadi pada kita sendiri. Hal positif yang kudapat dari kisah Yuk Kembang adalah sikap tanggung jawabnya.

Ia mengaku tak mengadu pada keluarga, karena sadar sudah meninggalkan keluarganya demi laki-laki itu. Jadi susah senang ia terima sebagai konsekuensi. Yuk Kembang yang akhirnya menjanda, bekerja sebagai tenaga marketing yang tiap hari mengedarkan brosur promo di pinggir jalan raya.

Sampai akhirnya, seseorang yang menurut Yuk Kembang lebih karena kasihan, bukan karena butuh tenaga, mengajaknya bekerja kantoran dengan gaji sesuai UMP.

Yuk Kembang kemudian kembali pada keluarganya, ia mengaku kapok memilih laki-laki cuma modal cinta. Sekarang ia sudah menikah lagi, dengan laki-laki yang jauh lebih matang. Penuh kebanggaan Yuk Kembang bercerita, bagaimana ia melenggang di depan keluarga mantannya.

Kisah itu sepertinya ia umbar ke mana-mana karena euforia keberhasilannya. Ia ingin memberitahu orang-orang agar tak terjerumus ke lubang yang sama. Hanya saja, karena euforia-nya, Yuk Kembang lupa bahwa audiensnya kali ini adalah emak-emak dan nenek-nenek, yang tak mungkin kawin lari. Capek, jalan santai aja sudah ngos-ngosan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun