Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Arisan RT, Perekat atau Pemutus Silaturahmi?

2 Februari 2021   19:40 Diperbarui: 5 Februari 2021   17:19 2305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi arisan/tribunnews

"Bilang ke D, keponakannya sudah dua bulan belum bayar arisan. Mau ditagih, tagih ke mana. Alamat barunya pun kami tak tau."

Si D kemudian menelepon keponakannya yang lain, "Bayarlah arisan adikmu, malu. Di kampung itu dia pergi ninggalin utang."

Akhirnya keponakan D datang ke tempat itu, membayarkan utang adiknya. Utangnya tak banyak, tapi malunya segunung.

Itu salah satu kisah yang menguatkanku untuk malas bergabung arisan kampung. Entah RT, pengajian, atau komunitas apa pun. Sebagian orang menganggap itu ciri orang tak mau bergaul, aku sih tak mau banyak alasan. Kalau itu ukuran baik/tidaknya seorang warga, ya sudahlah.

Ketika masih bekerja, ada pula arisan antarkaryawan. Tujuh tahun aku di sana, tak pernah sekalipun aku ikut arisan. Mau dibilang gak gaul? Dari urusan uang, utang, sampai HP hang, entah milik sesama karyawan, sampai milik bos, aku yang tangani.

Jadi pertimbangkan kembali untuk menyimpulkan seseorang tidak mau bergaul, hanya karena ia tak ikut arisan.

Baca juga: Pulau Seharga Rumah

Faktor berikutnya barangkali karena aku malas berutang. Membayar arisan rasanya mirip dengan membayar angsuran. Aku tipikal penabung, bukan pengangsur. Walau yang ditabung tak juga membukit, tapi itu lebih menenangkan ketimbang uang belum di tangan tapi bon sudah di depan mata.

Terima di awal, di bulan-bulan akhir terasa lelahnya. Terima di akhir, harap-harap cemas jika ada yang tak membayar. Kasus di awal artikel ini bukan satu-satunya yang pernah kulihat. Masih ada kasus lain yang bahkan kualami sendiri, meski tidak secara langsung.

Bahkan sebelum kita berpisah rumah dari orang tua, atau belum menikah, tawaran untuk ikut arisan sudah datang dari koordinator kampung (apa istilah tepatnya?)

Mamakku tak suka berutang, tapi suka ikut arisan. Alasannya arisan sama dengan menabung. Jadi bukan satu dua akun (pasti bukan ini istilahnya) yang Mamak punya. Untuk satu kelompok arisan, Mamak punya hingga tiga. Biasanya satu atau dua dipakaikan namaku.

Entah karena Mamak malu punya anak yang tak mau ikut arisan, atau sekadar tak enak namanya disebut sampai tiga. Mbah 1, Mbah 2, Mbah 3. Padahal anaknya ada tujuh.

Jadi seringkali tetangga memanggil, "Tari, kau dak pegi ngoncang di rumah si Anu?"

Apa yang dikoncang, aku tak merasa pernah setor uang ke siapa pun. Tapi taulah aku maksudnya, dan mengangguk saja tanpa mengiyakan. Nantinya saat tau namaku keluar, tinggal tagih pajak. "Mamak pake namo Tari, bayarlah!"

Dan Mamak dengan lugunya membayar. Ah, seru juga ya mengenang-ngenang masa lajang.

Baca juga: Daripada Arisan, Mending Simpan Duit di Sini!

Nah suatu kali pada salah satu kelompok arisan, dari tiga nama yang dimiliki Mamak, dua di antaranya dijadwalkan di akhir. Yang satu sudah pernah narik, lancar. Namun untuk yang kedua, lama sekali dananya cair.

Karena berurutan, Mamak berpikir uangnya akan jadi dobel, jadi tak apa lama-lama, yang penting keluar. Si pengumpul dana masih santai belanja di warung Mamak, dia bilang ada kendala di iuran beberapa anggota.

Memasuki jadwal nama terakhir, Mamak mulai agak resah. Apa pula urusannya orang enggan membayar hanya karena dua nama terakhir dimiliki orang yang sama. Bukankah punya lima nama pun, membayarnya lima pula?

"Tunggu ya, Mbah. Si itu belum bayar, payah memang dio tu. Tenang be, tinggal dio kok." Begitu alasan sang bendahara.

"Kalo gitu bayar yang selain dio be. Biar sisanya untuk yang belakangan," tagih Mamak.

"Dak enaklah dak serempak. Tunggulah, gek kutagih dio Mbah."

Masih di hari yang sama, si tersangka penunggak datang belanja ke warung Mamak. Dengan sedikit basa-basi, Mamak pun menagih haknya.

"Aku sudah bayar Mbah, dari kemarin-kemarin. Tanyo si Anu, serempak dio aku bayar!" langsung naik pitamlah tetangga itu. Entah apa kelanjutannya, yang jelas itu terakhir Mamak tergabung dalam kelompok arisan mereka.

Di lingkungan baru, arisannya lebih rapi. Undian dilakukan dari rumah ke rumah, diawali dengan kajian, ditutup dengan ramah tamah. Tentu saja aku ditawari bergabung, untuk merekatkan silaturahmi, begitu katanya.

Tapi sudah telanjur melekat di kepalaku. Arisan bukan nabung, arisan bukan pengikat silaturahmi. Aku benci ditagih-tagih, aku benci berutang, aku malas menunggu-nunggu. Jadi sudahlah, anggap saja aku memang malas bergaul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun