Entah karena Mamak malu punya anak yang tak mau ikut arisan, atau sekadar tak enak namanya disebut sampai tiga. Mbah 1, Mbah 2, Mbah 3. Padahal anaknya ada tujuh.
Jadi seringkali tetangga memanggil, "Tari, kau dak pegi ngoncang di rumah si Anu?"
Apa yang dikoncang, aku tak merasa pernah setor uang ke siapa pun. Tapi taulah aku maksudnya, dan mengangguk saja tanpa mengiyakan. Nantinya saat tau namaku keluar, tinggal tagih pajak. "Mamak pake namo Tari, bayarlah!"
Dan Mamak dengan lugunya membayar. Ah, seru juga ya mengenang-ngenang masa lajang.
Nah suatu kali pada salah satu kelompok arisan, dari tiga nama yang dimiliki Mamak, dua di antaranya dijadwalkan di akhir. Yang satu sudah pernah narik, lancar. Namun untuk yang kedua, lama sekali dananya cair.
Karena berurutan, Mamak berpikir uangnya akan jadi dobel, jadi tak apa lama-lama, yang penting keluar. Si pengumpul dana masih santai belanja di warung Mamak, dia bilang ada kendala di iuran beberapa anggota.
Memasuki jadwal nama terakhir, Mamak mulai agak resah. Apa pula urusannya orang enggan membayar hanya karena dua nama terakhir dimiliki orang yang sama. Bukankah punya lima nama pun, membayarnya lima pula?
"Tunggu ya, Mbah. Si itu belum bayar, payah memang dio tu. Tenang be, tinggal dio kok." Begitu alasan sang bendahara.
"Kalo gitu bayar yang selain dio be. Biar sisanya untuk yang belakangan," tagih Mamak.
"Dak enaklah dak serempak. Tunggulah, gek kutagih dio Mbah."