Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pilih Sekolah Lihat Gurunya, Bukan Gedungnya

11 Januari 2021   12:06 Diperbarui: 11 Januari 2021   12:22 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by kyo azuma on Unsplash

Aku pernah menjadi tenaga administrasi di sebuah sekolah. Dengan konsep yang baik dan para guru yang begitu menjiwai peran mereka, sebentar saja sekolah ini jadi salah satu sekolah favorit di kotaku. Lagi pilih sekolah? Simak dulu cerita nyata berikut.

Kecenderungan wali murid nampak berubah ketika sekolah sudah "naik level". Siswa di tahun-tahun awal umumnya adalah anak dari orang tua yang mencari sekolah terbaik atau termurah, atau setidaknya cukup baik tapi tidak terlalu mahal.

Ketika sekolah tempatku bekerja sudah dianggap berkelas, calon wali murid yang datang rata-rata kaum mentereng. Yang menengah ke bawah, belum apa-apa sudah jiper duluan. Berdasarkan analisis kecil-kecilan dari pengalaman bekerja, kusimpulkan orang tua kerap keliru menyimpulkan mana sekolah yang bagus, mana yang nampaknya bagus.

Prestasi Sekolah Vs Prestise Orang Tua

Ketika penerimaan siswa baru dibuka, calon wali murid dari kalangan the have tak terlalu memperhatikan penjelasan tentang program-program sekolah. Tidak sedikit yang hanya melihat total biaya, bayar lunas. Lalu nyaris tak pernah terlibat dengan kegiatan anak.

Ada satu kejadian "unik" yang masih kukenang hingga kini. Tentang seorang anak yang punya tunggakan hingga bertahun-tahun lamanya. Ini hanya satu dari sekian anak yang orang tuanya punya kebiasaan sama. Mereka hanya akan membayar jika sudah dipanggil ke kantor, selalu begitu.

Sekali membayar, tak lebih dari seperempat utangnya di sekolah. Aku adalah penjahat di mata wali murid tukang nunggak dan wali kelas yang sayang siswa tapi tak tau "dosa" orang tua mereka. Sebab akulah yang mencatat tagihan-tagihan siswa tsb.

Para guru tak tau, jika pihak penerbit, bank, dan sederet kang tagih lainnya datang. Aku cuma bisa memberi mereka janji, sebab tak ada uang untuk membayar. Siswa yang datang dengan mobil jemputan, tak bawa bekal tapi uang jajan seabrek-abrek, nyatanya SPP tahun lalu saja belum lunas.

Aku juga yang menyarankan yayasan agar bertindak tegas. Batasi saja fasilitas siswa, "Sekolah ini memang mahal, tapi daripada menzalimi sekolah dan merusak mental anak, lebih baik pilih sekolah yang sesuai kemampuan orang tua."

Awalnya saranku tak terlalu diperhatikan. Sampai suatu hari, Ketua Yayasan mendengar langsung si anak mengumbar cerita pada teman-temannya, bahwa rumahnya sedang direnovasi. Ketua Yayasan yang tau betul bahwa si anak punya banyak tagihan, akhirnya naik pitam juga.

Kubilang apa, orang tua memaksakan diri menyekolahkan anak di tempat mahal bukan untuk anaknya, tapi demi nama baik mereka agar terlihat kaya. Alhasil anaknya tak bisa ujian, sementara orang tua menyambut tamu dengan rumah baru yang lebih indah.

Baca juga: 2 Fitnah Kocak

Main Pasir di Sekolah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun