Seorang kawan menelepon, "Tari, bisa bantu Abang jadi juri?"
Diteruskan aneka perbincangan. Intinya, deal. Jadi juri berbayar. Berapa honornya, seumur hidup aku memang tak pernah tanya itu. Kecil disyukuri, besar dinikmati.
Karena ini pertama kali menjadi juri di lembaga tersebut, kuingatkan kawanku agar menyampaikan pada panitia untuk mengirimkan naskah yang bersih dari identitas penulis. Di beberapa lembaga lain, hal ini sudah jadi aturan baku yang seolah otomatis saja dilakukan panitianya.
Meski mengiyakan, nyatanya naskah yang sampai pada juri sangat apa adanya. Segala data penulis ada di sana. Jelas, karena panitia hanya meneruskan surel peserta ke surel juri.
Ya sudahlah, yang penting dengan demikian panitia meyakini bahwa juri tak akan main mata dengan peserta lomba. Dan memang demikian, aku juga kawan itu tak pernah sekalipun menghubungi penulis yang karyanya kami nilai.
Bahkan sekadar membagi cerita di medsos pun tak kulakukan, demi menjaga integritas. Setelah pengumuman pemenang, baru kisahnya diumbar-umbar. Seperti sekarang ini.
Baca juga: Perempuan Selalu Salah
Cerita remeh di atas kemudian mengingatkanku pada satu pengalaman buruk saat menjadi juri, semoga tak ada yang lebih buruk dari itu.
Seorang mahasiswa yang tidak kukenal mengirim pesan, memintaku jadi juri lomba kepenulisan di kampus. Penyelenggaranya tentu saja organisasi (bukan universitas), tapi aku lupa organisasi apa. Pokoknya ada adik mahasiswa minta tolong, bantu sajalah.
Di organisasi kepenulisan yang sudah kubentuk bersama kawan-kawan sejak 2006, kami terbiasa saling sinergi dengan berbagai komunitas dan organisasi lain. Cuma modal "tolong" dan "terima kasih". Alias gratis total.
Makanya meski yang menghubungi tidak dikenal, asal sama-sama nonprofit, oke sajalah. Sesama orang susah harus saling bantu.
Jika dihubungi lembaga resmi biasanya kami dikirimi surat, karena ini modal "sesama", jadi cukup dengan persetujuan di chat room. Oke, tak masalah.
Ditunggu beberapa hari, naskah tak kunjung datang. Kupikir batal tanpa konfirmasi, ya sudahlah. Toh mulainya juga dengan sangat santai, ditutup dengan tanpa kabar juga tak apa.
Tapi di ujung deadline, tiga hari menjelang pengumuman pemenang, tau-tau panitia mengabari bahwa naskah siap dikirim. Kesal iya, tapi mereka kan masih adik-adik remaja yang tak paham bahwa aku juga punya pekerjaan.
Aku kira naskah akan datang dalam bentuk cetak disertakan form penilaian. Jauh dari itu. Naskah yang datang adalah forward dari email peserta dalam bentuk apa adanya. Jika peserta mengirim dalam bentuk zip, ya itulah yang sampai ke emailku.
Peserta yang mengirim naskah, foto, dan biodata secara terpisah pun, oleh panitia dikirim semuanya ke emailku. Awalnya kuunduh juga beberapa, namun melihat kekacauan itu, rasanya seperti ini bukan orang minta tolong, tapi orang menitah. Padahal gratis segratis-gratisnya. Sungguh mahasiswa tak beradab.
Sebelumnya aku pernah diminta oleh organisasi sejenis di kampus yang sama, mengisi acara. Mendatangkan artis ibu kota dengan bayaran 14 juta, sementara aku dan teman di komunitas hanya dapat ucapan terima kasih dan selembar sertifikat tanpa map.
Itu menyakitkan hati, walau kami memang tak pernah minta honor. Di situlah kesalahan kami, menurut temanku kemudian. "Kamu terbiasa tak dibayar, jadi semena-mena diperlakukan orang," katanya.
Dan benar saja. Setelah perlakuan itu, datang lagi perlakuan yang ini. Jadi kubatalkan niat membantu. Setelah ditotal, butuh 8 gb space untuk menampung kiriman peserta. Entah berapa kuota internetnya.
H-2, datang panitia yang kukenal. Ia mengantar flash disk berisi naskah untuk disalin ke komputerku. Karena adik ini pernah ikut kelas menulisku, jadi kuterima. Kasihan, ia tak tau apa-apa. Hanya diminta seniornya untuk mengantar file tsb.
Oke, kubaca naskah satu per satu. Kuberi nilai sambil menyabar-nyabarkan hati. Rencananya akan kutuntaskan segera sebelum hari H. Tapi sebuah pesan membuat niat baikku ambyar.
"Kak, besok pengumuman. Nilainya ditunggu malam ini juga ya!"
Baca juga: Hemat Kuota ala Penulis Konten
Kira-kira begitu. Tidak didahului oleh permintaan maaf, dan tanpa basa-basi sama sekali. Kuabaikan. Alih-alih begadang untuk menyelesaikan, kupilih tidur.
Tapi mereka luar biasa. Tak mendapat jawabanku, nomorku di-misscall berkali-kali sampai pukul 1 malam. Daripada HP kubanting, mending kumatikan baik-baik. Tidur lagi.
Paginya pesan datang bertubi-tubi. Kubaca cepat naskah yang tersisa. Tanpa form nilai dan lainnya, kukirim urutan naskah terbaik sampai sekian nomor. Apakah ada ucapan terima kasih?
"Kak, nilainya mana? Terus kriteria penilaiannya? Kan ada poin-poin yang harusnya disebutkan. Ini kami sudah tunda pengumumannya. Balas cepat ya kak!"
Aku lupa apa jawabanku saat itu. Yang jelas untuk selanjutnya aku berlindung pada Allah dari rusaknya hati gara-gara mahasiswa salah makan. Syukurnya itulah terakhir kali aku berurusan dengan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H