Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Puluhan Tahun Menunggu

26 Desember 2020   10:53 Diperbarui: 26 Desember 2020   11:06 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
berbagi kebahagiaan/dokpri

Ada yang bilang, saat hamil, kamu akan tau kenapa menyebut "ah" saja pada orang tua itu dilarang. Terutama ibu, yang sejak hamil hingga membesarkan anak, dialah yang paling luar biasa perjuangannya.

Saking besar perjuangan seorang ibu, tidak ada materi yang bisa dijadikan bandingan. Maka membahagiakan orang tua adalah hal wajib yang harus kita lakukan, tanpa maksud membalas jasa. Karena jelas tak akan terbalas.

Sejak kecil, kami selalu dibayangi dengan ancaman penggusuran. Mamak yang mengklaim telah membeli tanah seluas 3,5 tbk ternyata adalah korban penipuan oknum Kantor Agraria. Berbagai upaya dilakukan, tapi tak membuahkan hasil.

SK Gubernur 

foto jadul (dokpri)
foto jadul (dokpri)
Tahun 2013, seorang senior menelepon. Suaminya yang bekerja di Biro Aset menginformasikan tentang turunnya SK Gubernur, yang memutuskan bahwa beberapa tanah pemprov yang dikuasai secara fisik oleh warga, akan dilepas dengan syarat tertentu.

Kupelajari surat tersebut. Intinya, hanya warga tertentu yang memiliki hak untuk membeli tanah yang telah ditinggalinya selama puluhan tahun. Hanya warga lama, dan Mamakku termasuk di dalamnya.

Kusampaikan pada keluarga rencana untuk membayar, semua orang tidak setuju. Alasannya masuk akal, sudah sejak dulu selalu saja ada yang datang mengatakan hal yang sama. Bayar ini itu, lalu sertifikat tak pernah sampai.

Kubawa salinan SK itu ke kantor Biro Aset, menanyakan detail masalah, sambil membawa bukti jual-beli tanah yang dipunyai Mamak.

Taulah aku apa yang selama puluhan tahun terjadi. Ternyata, SK yang mirip pernah dikeluarkan gubernur pada tahun 1996. Sampai 1999, ada proses yang tak berujung. Masyarakat tak ada yang mengangsur, merasa yakin tak akan digusur.

Itu versi Biro Aset. Sementara di masyarakat, aku menangkap sinyal bahwa warga tak lagi percaya pada pemerintah. Mereka merasa sudah membayar, tentu pada oknum tertentu, tapi tak ada kelanjutan. Benang kusutnya ketauan, tapi yang membuat kusut tak terungkap.

Ketika bukti jual beli kuperlihatkan, salah seorang pimpinan yang mengaku telah mengurusi tanah tersebut sejak 1985 mengatakan, mereka yang punya sertifikat pun, dipastikan sertifikatnya bodong. Karena tidak ada berkas perlepasan aset dari Setda untuk ybs.

Oke, aku paham. Lalu kusampaikan pelan-pelan pada Mamak. Berharap dengan begitu, beliau mengikhlaskan uang yang pernah dipakai membeli tanah tahun 70-an dulu. Oknumnya juga sudah tiada, percuma mempertahankan klaim dengan bukti yang teramat lemah.

Tapi tidak begitu dengan kakak-kakak, mereka masih tak percaya. Ditambah sikap para tetangga yang antara kapok ditipu dan yakin tak akan digusur. Semua seolah saling menguatkan untuk mengabaikan SK tsb.

Mamak sendiri antara berharap tapi tak yakin. Beliau sering mengulang-ulang kisah bagaimana ia datang dari Jawa ke Jambi. Bagaimana kondisi Jambi tahun 60-an, siapa yang sudah ada waktu beliau masih mengontrak rumah, siapa yang datang belakangan, dst.

Surat Tagihan

Akhir 2017, surat tagihan dari Biro Aset Pemprov datang. Angsuran tanah ke kas negara yang sedianya dilakukan selama lima tahun, tak ada yang mengindahkan. Kali ini ada sedikit penegasan, bahwa dana hanya akan diterima paling lambat April 2018.

Makin jauh harapan Mamak mendapatkan sertifikat untuk tanah yang telah puluhan tahun beliau diami. Dalam tiga bulan, mustahil mendapat dana sampai seratus juta lebih. Kami bukan keluarga kaya.

Kuminta izin untuk mencari cara, beliau mengizinkan. Kakak-kakak menyerahkan sepenuhnya, masih dengan perasaan tak yakin. Tetangga? Jangan ditanya, hampir semua meremehkan. Tidak mungkin keluar sertifikat, pasti ditipu!

"Si anu tokoh hebat, kaya, sampai sekarang ia tak punya sertifikat."

"Dak mungkin digusur, semua orang pasang badan. Biarlah mati rame-rame."

"Si itu kemarin sudah transfer ke bank, dak ado dak keluar sertifikat."

Kalau ibu sudah mendoakan, anak tinggal jalan. Pelan-pelan kuikuti alur SK. Dari Setda, Kantor Pertanahan, camat, lurah, dst. Sembari mencari dana untuk disetorkan ke bank yang ditunjuk Pemprov.

Peganganku hanya doa Mamak sebagai ibu, sekaligus orang yang terzalimi dalam jual beli tanah di masa lampau. Ditambah medsos untuk mengadu, jika terjadi hambatan selama berurusan dengan birokrasi.

Tangis Bahagia

berbagi kebahagiaan/dokpri
berbagi kebahagiaan/dokpri
Tak akan cukup halaman Kompasiana jika kujabarkan bagaimana proses ini berakhir. Maret 2020, ketika pandemi mencapai Indonesia, akhirnya sertifikat itu kudapatkan.

Nyaris tanpa orang dalam, tak serupiah pun "pelicin", aku berhasil membuat Mamak menangis haru ketika sertifikat itu akhirnya sampai di tangan beliau. Mamak menyalami petugas Kantor Pertanahan dengan penuh terima kasih.

Padahal bertahun-tahun aku berurusan dengan kantor tanah, baru belakangan mbak-mbak itu muncul sebagai customer service, yang bertugas memberikan arsip yang dibutuhkan warga hari itu. Begitulah lugunya orang tua.

Kini, Mamak tak lagi mengulang kisah bagaimana beliau datang dan membeli tanah. Melainkan bagaimana kami terus bergerak meski diremehkan. Cemooh dari kiri kanan ditangkis dengan kesabaran.

Aku berhasil membuktikan, literasi yang baik (membaca SK dengan lampirannya secara menyeluruh) adalah lebih penting ketimbang mendengar desas-desus tak penting yang justru menyurutkan langkah. Tapi lebih dari itu, tujuan utamanya adalah mendapatkan hak Mamak yang tertunda puluhan tahun lamanya. Membuat beliau bahagia, yang itu pasti membahagiakanku.

Benar aku tidak membahagiakan beliau dengan cara berbagi, memberi materi, apalagi menyantuni. Tapi aku melihat binar bahagia di matanya. Seperti aforisme Arab, Man as'adunnaas? Man as'adannaas. Siapa orang yang paling bahagia? Orang yang membuat orang lain bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun