Tapi tidak begitu dengan kakak-kakak, mereka masih tak percaya. Ditambah sikap para tetangga yang antara kapok ditipu dan yakin tak akan digusur. Semua seolah saling menguatkan untuk mengabaikan SK tsb.
Mamak sendiri antara berharap tapi tak yakin. Beliau sering mengulang-ulang kisah bagaimana ia datang dari Jawa ke Jambi. Bagaimana kondisi Jambi tahun 60-an, siapa yang sudah ada waktu beliau masih mengontrak rumah, siapa yang datang belakangan, dst.
Surat Tagihan
Akhir 2017, surat tagihan dari Biro Aset Pemprov datang. Angsuran tanah ke kas negara yang sedianya dilakukan selama lima tahun, tak ada yang mengindahkan. Kali ini ada sedikit penegasan, bahwa dana hanya akan diterima paling lambat April 2018.
Makin jauh harapan Mamak mendapatkan sertifikat untuk tanah yang telah puluhan tahun beliau diami. Dalam tiga bulan, mustahil mendapat dana sampai seratus juta lebih. Kami bukan keluarga kaya.
Kuminta izin untuk mencari cara, beliau mengizinkan. Kakak-kakak menyerahkan sepenuhnya, masih dengan perasaan tak yakin. Tetangga? Jangan ditanya, hampir semua meremehkan. Tidak mungkin keluar sertifikat, pasti ditipu!
"Si anu tokoh hebat, kaya, sampai sekarang ia tak punya sertifikat."
"Dak mungkin digusur, semua orang pasang badan. Biarlah mati rame-rame."
"Si itu kemarin sudah transfer ke bank, dak ado dak keluar sertifikat."
Kalau ibu sudah mendoakan, anak tinggal jalan. Pelan-pelan kuikuti alur SK. Dari Setda, Kantor Pertanahan, camat, lurah, dst. Sembari mencari dana untuk disetorkan ke bank yang ditunjuk Pemprov.
Peganganku hanya doa Mamak sebagai ibu, sekaligus orang yang terzalimi dalam jual beli tanah di masa lampau. Ditambah medsos untuk mengadu, jika terjadi hambatan selama berurusan dengan birokrasi.