Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini Ide Kado yang Kupunya, Kadomu Nggak Kutanya

24 Desember 2020   07:37 Diperbarui: 24 Desember 2020   07:38 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kado akhir tahun (dokpri)

Semua orang butuh penghargaan, entah sekadar pujian atau yang lebih konkret, hadiah. Tapi aku termasuk orang yang butuh alasan jika harus memberi hadiah pada seseorang. Bahasanya simpelnya pelit.

Ya iya, aku aja jarang-jarang dapat kado. Karena nggak punya prestasi. Aduh, ini kok malah curcol.

Nggak sih, aku punya alasan yang lebih waras ketimbang soal pelit atau balas dendam nasib. Aku hanya tidak ingin terbebani oleh kebiasaan yang kubuat sendiri.

Contohnya saat lebaran, siapa sih yang pertama bikin ide ngasih amplop ke keponakan? Jadinya tuman, tiap lebaran mikirin berapa isi amplop untuk enam belas keponakanku. 16! Dan masih ada kemungkinan akan nambah lagi.

Kalau dulu enak, anak-anak belum ngerti duit. Jadi THR mereka dari bude pakde bisa diputar untuk sepupu-sepupunya. Sekarang mereka sudah mengerti hak dan kewajiban. Duitku duitku, duitmu duitku.

Kompasiana merasa juga kan? Gara-gara sekali diadakan Kompasianival dengan taburan hadiah, akhirnya tiap tahun harus ada Kompasianival, yang kata orang-orang lebarannya kompasianer.

Baca juga: 5 Kebiasaan yang Menunjukkan Karakter Seseorang

Kalau Natal, aku nggak ngerti. Apakah kado itu bagian dari "syariah" Kristen atau bagaimana. Kalau di Idulfitri intinya adalah membahagiakan, salah satunya dengan zakat fitrah dari yang mampu ke yang tidak mampu itu. Amplop kecil-kecil gak ada.

Balik ke urusan kado. Karena tak ingin terbebani dengan kebiasaan yang dibuat sendiri, akhirnya aku punya cara sendiri bagaimana memberi penghargaan, terutama untuk anak-anak di rumah.

Untuk saat ini, bisalah dikatakan kado akhir tahun. Sebab aku berencana memberinya di 2020 yang masih tersisa beberapa hari. Tentu bukan kado Natal, karena aku tidak merayakannya. Kado lebaran juga nggak. Kejauhan.

Besok akan kunamai kado kejujuran. Agar anak-anak merasa kejujuran mereka selama ujian kemarin dihargai. Walaupun itu memang kewajiban mereka, gak harus karena kado.

Tapi aku tidak mengumbar janji di awal. Diam-diam saja sambil memperhatikan, barang apa yang mereka inginkan, atau barang apa milik mereka yang sudah rusak atau tidak bisa dipakai lagi.

Jadi nantinya aku pulang membawa kado, atau kang paket mengantar kado ke rumah, yang isinya (misal) rok/sandal, karena rok/sandal mereka sudah kekecilan, atau boneka yang sudah lama diinginkan. Atau sekadar kue tar kecil yang bikin ngiler waktu mereka tonton di Youtube.

Meski kadonya gak mewah, kejutannya bikin mereka hepi. Dan efisiensi barang yang dibeli membuatku puas membelanjakan duit yang dicari susah payah. Ah lebay.

Ini bukan sekadar rencana, Gengs. Sebelumnya pernah kulakukan ketika si kakak berhasil menamatkan Iqro' dan pindah ke Al-Qur'an. Juga ketika si adik berhasil puasa sebulan penuh. Dan beberapa momen yang aku lupa.

Yang jelas, momennya tidak rutin berulang. Sehingga anak-anak tidak menaruh harapan setiap tanggal atau hari tertentu.

Baca juga: Cara Jadi Kompasianer yang Kuumbar ke Orang-orang

Bukan sok lurus. Sejak dulu aku sering mendapati orang tua yang sudah kadung merayakan ulang tahun anak, pada akhirnya rela susah payah bahkan sampai berutang, untuk merayakan ultahnya setiap tahun.

Padahal masa kanak-kanak adalah momen yang tepat untuk anak diajak ngobrol tentang kehidupan, tentunya dengan bahasa yang sederhana. Misalnya tentang syukur, tentang mencintai alam, dll. Termasuk menyampaikan kondisi keuangan orang tua sehingga mereka tidak bisa terus merayakan ulang tahun. Obrolan itu akan terekam hingga mereka dewasa, dan membentuk karakter anak.

Aku bukan orang tua sempurna, tapi anak-anak di rumah sepertinya sudah paham jika hari lahirnya datang, mereka hanya akan diingatkan bahwa usianya nambah. Puas-puaslah jadi anak-anak, sebelum tanda baligh datang. Tidak ada kado, karena emaknya gak romantis. Apalagi acara ramai-ramai di rumah, ribet.  

Tapi jika menginginkan sesuatu, mereka pesan. "Kalau pengin kasih kado, isinya 'ini' ya, Mi." Asal duit emaknya cukup, prestasi apa saja bisa dijadikan alasan untuk memberi kejutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun