Semua orang butuh penghargaan, entah sekadar pujian atau yang lebih konkret, hadiah. Tapi aku termasuk orang yang butuh alasan jika harus memberi hadiah pada seseorang. Bahasanya simpelnya pelit.
Ya iya, aku aja jarang-jarang dapat kado. Karena nggak punya prestasi. Aduh, ini kok malah curcol.
Nggak sih, aku punya alasan yang lebih waras ketimbang soal pelit atau balas dendam nasib. Aku hanya tidak ingin terbebani oleh kebiasaan yang kubuat sendiri.
Contohnya saat lebaran, siapa sih yang pertama bikin ide ngasih amplop ke keponakan? Jadinya tuman, tiap lebaran mikirin berapa isi amplop untuk enam belas keponakanku. 16! Dan masih ada kemungkinan akan nambah lagi.
Kalau dulu enak, anak-anak belum ngerti duit. Jadi THR mereka dari bude pakde bisa diputar untuk sepupu-sepupunya. Sekarang mereka sudah mengerti hak dan kewajiban. Duitku duitku, duitmu duitku.
Kompasiana merasa juga kan? Gara-gara sekali diadakan Kompasianival dengan taburan hadiah, akhirnya tiap tahun harus ada Kompasianival, yang kata orang-orang lebarannya kompasianer.
Kalau Natal, aku nggak ngerti. Apakah kado itu bagian dari "syariah" Kristen atau bagaimana. Kalau di Idulfitri intinya adalah membahagiakan, salah satunya dengan zakat fitrah dari yang mampu ke yang tidak mampu itu. Amplop kecil-kecil gak ada.
Balik ke urusan kado. Karena tak ingin terbebani dengan kebiasaan yang dibuat sendiri, akhirnya aku punya cara sendiri bagaimana memberi penghargaan, terutama untuk anak-anak di rumah.
Untuk saat ini, bisalah dikatakan kado akhir tahun. Sebab aku berencana memberinya di 2020 yang masih tersisa beberapa hari. Tentu bukan kado Natal, karena aku tidak merayakannya. Kado lebaran juga nggak. Kejauhan.
Besok akan kunamai kado kejujuran. Agar anak-anak merasa kejujuran mereka selama ujian kemarin dihargai. Walaupun itu memang kewajiban mereka, gak harus karena kado.