"Mbak istrinya Guru M, kan?" tanya seorang ibu saat kami bertemu di swalayan.
"Iya," jawabku, yang kemudian langsung menjadi awal perbincangan panjang.
Si ibu tidak memperkenalkan namanya, hanya memberi tau nama anaknya, yang gak ada hubungan dengan suamiku. Tentang rumahnya yang ternyata satu lokasi dengan rumahku, tapi beda blok, dan cerita menarik lainnya.
Gitu aja menarik? Itu hanya topik besar, tema spesifiknya lain waktu mungkin bisa kubagikan. Tapi yang kali ini yang menjadi kegelisahanku adalah, si ibu bercerita panjang lebar dengan lebih dulu membuka maskernya.
Setelah lama bercerita, ia akhirnya menyadari kalau aku tidak melakukan hal yang sama. Masker tetap kupakai saat bicara, dan membuatnya jadi agak salah tingkah.
"Pengap pake masker terus, Bu!" kata si ibu akhirnya.
Aku coba memaklumi, barangkali ia melakukan agar lebih sopan. Semoga ia juga maklum, aku melakukan sebaliknya karena ingin lebih aman.
Baca juga:Â Cara Mencuci Masker Kain
Dua hari sebelumnya, ada kejadian yang mirip dengan hari itu. Ketika aku tengah mengantre di salah satu faskes, seorang bapak yang ketika datang telah mengenakan masker mendekat ke petugas.
Ia bertanya pada petugas yang mengenakan APD lengkap. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan, tapi yang menarik perhatianku adalah, si bapak justru membuka maskernya ketika bicara.
Petugas berusaha menjaga jarak, ia mundur. Tapi si bapak justru maju, dan agak meninggikan suaranya. Untung petugasnya baik. Ia mendengarkan tanpa reaksi berlebihan, tebakku, ia diam karena berdoa.
Petugas lainnya, agak kurang beruntung. Ia harus berurusan dengan pasien yang selain ngotot juga lebih temperamen.
Seorang ibu menanyakan sesuatu, petugas dengan APD lengkap duduk di belakang pembatas transparan. Berkali-kali ia mengingatkan pasien untuk bicara dari arah depan, menghadap pembatas. Tapi beberapa, termasuk si ibu, tetap datang dari arah samping.
"Dari depan, Bu. Jangan di samping!" tegasnya.
"Baek-baek kau tu ngomong! Aku ni bukan binatang kau usir-usir," seru si ibu.
Petugas tak menjawab. Sementara sang pasien misuh-misuh sembari mencari tempat duduk. Aku memberinya tempat. Kabarnya kalau orang marah dalam keadaan berdiri, jika duduk emosinya akan mereda.
Entah berterima kasih atau butuh dukungan, si ibu melihat mataku. Aku menyibukkan diri dengan hal lain. Antara salah tingkah dan tak ingin menjadi pendukungnya.
Kuakui, petugas yang ia bentak memang agak tinggi suaranya sejak tadi. Tapi aku memahami itu karena ia lelah menghadapi orang-orang yang tak paham kenapa aturan dibuat. Orang-orang yang tak mengerti kenapa mereka mengenakan masker, kenapa petugas rela berpanas-panas dengan hazmat, repot-repot memasang pembatas, dll.
Padahal di dalam, salah seorang temanku yang bertugas sebagai tenaga medis mengaku tak bisa menemuiku karena sedang merawat pasien covid. Temanku yang lain mewanti-wanti agar jangan datang ke faskes mana pun, ada banyak temannya yang terkapar karena covid.
Sementara orang-orang yang masih sehat sampai bisa berteriak-teriak ini, seolah beranggapan covid hanya mitos. Benarlah kalimat seorang warganet yang pernah lewat di timeline-ku. "Covid hanya mitos, sampai kamu atau orang terdekatmu yang terinfeksi."
Lonjakan kasus kemarin, hingga 8 ribu lebih dalam sehari, mungkin hanya pemanasan. Toh, reaksinya biasa saja. Tidak ada perubahan berarti, orang-orang merespons biasa saja.
Penggunaan masker, mirip dengan kewajiban mengenakan helm. Masyarakat mematuhinya karena khawatir ditilang/didenda. Jika dirasa tak ada polisi yang melihat, mereka tak mengenakan helm. Bukan melindungi kepala, tapi dompet.
Begitu pula masker. Kalau mereka paham, tentu tidak akan membuka masker ketika bicara, karena masker justru dimaksudkan untuk menahan droplet. Tak cukup membuka masker, bahkan sebagian besar mendekat, meninggalkan tanda jejak kaki pengatur jarak antarorang.
Sepenuhnya menyalahkan masyarakat juga tidak tepat. Apa guna mereka patuh prokes kalau pemangku kebijakan pun membuat aturan yang tidak menunjukkan keberpihakan pada prokes yang dibuat. Mencla-mencle.
Contoh nyatanya begitu konkret; Januari 2021 sekolah dibuka, Desember 2020 pilkada. Lawak kan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H