Petugas lainnya, agak kurang beruntung. Ia harus berurusan dengan pasien yang selain ngotot juga lebih temperamen.
Seorang ibu menanyakan sesuatu, petugas dengan APD lengkap duduk di belakang pembatas transparan. Berkali-kali ia mengingatkan pasien untuk bicara dari arah depan, menghadap pembatas. Tapi beberapa, termasuk si ibu, tetap datang dari arah samping.
"Dari depan, Bu. Jangan di samping!" tegasnya.
"Baek-baek kau tu ngomong! Aku ni bukan binatang kau usir-usir," seru si ibu.
Petugas tak menjawab. Sementara sang pasien misuh-misuh sembari mencari tempat duduk. Aku memberinya tempat. Kabarnya kalau orang marah dalam keadaan berdiri, jika duduk emosinya akan mereda.
Entah berterima kasih atau butuh dukungan, si ibu melihat mataku. Aku menyibukkan diri dengan hal lain. Antara salah tingkah dan tak ingin menjadi pendukungnya.
Kuakui, petugas yang ia bentak memang agak tinggi suaranya sejak tadi. Tapi aku memahami itu karena ia lelah menghadapi orang-orang yang tak paham kenapa aturan dibuat. Orang-orang yang tak mengerti kenapa mereka mengenakan masker, kenapa petugas rela berpanas-panas dengan hazmat, repot-repot memasang pembatas, dll.
Padahal di dalam, salah seorang temanku yang bertugas sebagai tenaga medis mengaku tak bisa menemuiku karena sedang merawat pasien covid. Temanku yang lain mewanti-wanti agar jangan datang ke faskes mana pun, ada banyak temannya yang terkapar karena covid.
Sementara orang-orang yang masih sehat sampai bisa berteriak-teriak ini, seolah beranggapan covid hanya mitos. Benarlah kalimat seorang warganet yang pernah lewat di timeline-ku. "Covid hanya mitos, sampai kamu atau orang terdekatmu yang terinfeksi."
Lonjakan kasus kemarin, hingga 8 ribu lebih dalam sehari, mungkin hanya pemanasan. Toh, reaksinya biasa saja. Tidak ada perubahan berarti, orang-orang merespons biasa saja.