Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

12 Tahun Sekolah, Inilah Tipe-tipe Guru yang Pernah "Kunikmati"

25 November 2020   20:56 Diperbarui: 25 November 2020   21:02 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Tra Nguyen via unsplash.com

Selamat Hari Guru Nasional! Terima kasih dan salam hormat untuk seluruh guru Indonesia atas segala jasa Bapak/Ibu sekalian. Aku berharap ada siswa atau wali murid yang memberi kado konkret, bukan sekadar ngasih ucapan. Kayak aku.

Salah satu guru di SMA pernah mengeluh begini, "Dari lapan lima saya ngajar, baru kali ini ketemu murid kayak begitu!" setelah menghukum anak kandungnya sendiri.

Kubayangkan, Bu Guru tentu sudah banyak makan asam garam dunia pendidikan. Aku baru belajar jalan, beliau sudah mengajar anak orang.

Sekarang gantian, setelah dua belas tahun sekolah, ditambah beberapa tahun menjadi wali murid, aku pun mengenal beberapa tipe guru. Lima di antaranya kuceritakan di sini. Sisanya bukan rahasia, tapi aku lupa.  

Guru Killer

Di setiap jenjang, tipikal guru ini selalu ada. Waktu aku kecil, kakak-kakakku sering bercerita tentang si A dipukul Guru B, si C ditampar Guru D. Rasanya aku pengin lari sejauh-jauhnya waktu Mamak akan mendaftarkanku ke SD.

Seolah tak cukup dengan sejumlah guru tukang hajar siswa, sekolah kami masih ditambah guru pindahan dari sekolah lain yang tak kalah sangar. Awal-awal jadi siswa SD, ada teman buang air di kelas. Air besar dan kecil.

Ada yang tak mau ditinggal ibunya, ada yang sepanjang hari menangis padahal tidak ada yang menyentuhnya. Tapi tidak ada yang dipukul guru. Aku pun merasa aman.

Baca juga: Mamak, Madrasah Pertamaku

Ternyata itu baru awalan. Menjelang cawu 1 berakhir, semua berubah! Hanya aku dan cucu kepala sekolah yang tidak pernah dijewer wali kelas kami. Semakin naik kelas, semakin berat ujian.

Di kelas 5, temanku pernah dipukul dengan mistar hingga patah dua. Mistarnya. Anehnya tak terjadi apa pun besoknya, padahal saat pulang, jelas ada dua garis merah tercetak di betis kecil temanku. Tidak ada wali murid datang ke kantor sekolah, alih-alih polisi.

Enam tahun sekolah di sana, tak pernah kualami apa yang dulu kukhawatirkan. Meski berkali-kali "aksi laga" guru-siswa kusaksikan, syukurnya aku bukan salah satu korban. Rahasianya ... Mamak selalu mengajarkan, kalau malam mau pipis, baca kulhu biar setan takut. Jadi kumodif sedikit niatnya.   

Guru Komedian

Ketika aku sekolah di daerah, satu tahun lamanya, ada guru yang setiap mengajar asyik ngebanyol. Memang sih, beliau jadi akrab dengan siswa. Tapi di sisi lain, guru yang seperti ini kadang kehilangan muruah di depan siswa-siswanya.

Selain di sekolah itu, tidak kutemukan guru sejenis di tempat lain. Banyak yang suka bercanda, tapi tidak selalu. Kebanyakan yang suka bercanda justru yang agak killer. Jadi sebelum ketawa siswa mikir dulu, ini bercanda atau serius?

Guru Mesum

Guru tipe ini adalah favorit siswa cowok. Mereka mengajar dengan pendekatan "ilmu biologi" agar siswa mudah paham. Kebanyakan siswa cewek sebal dengan guru tipikal ini.

Guru biologi terbaik (versiku) selama sekolah adalah saat kelas 2 SMA. Sayang, Bu Guru kadung dilabeli sebagai guru mesum. Jadi aku agak sungkan mengakui bahwa beliaulah satu-satunya yang membuatku mudah mengerti berbagai teori dalam mata pelajaran yang bikin ngantuk itu.

Apakah aku berotak mesum? Justru kupikir sebaliknya. Bu Sri, kalau tak salah namanya, sangat gesit. Suaranya lantang, menjelaskan sesuatu dengan analogi tapi tidak bertele-tele. Sesekali mungkin ia terlalu vulgar saat menjelaskan tentang organ reproduksi, tapi bukan itu yang membuatku tertarik.

Yang berkesan di kepalaku bukan soal vulgarnya, dan bukan itu yang khas. Melainkan suara lantang dan geraknya yang cepat.  

Guru Motivator

Sebelum segala hal berbau motivasi mengguncang dunia, aku sudah bertemu dengan motivator di SMA. Kelas 1 dan 3 sang bapak menjadi wali kelasku. Beliaulah yang menanamkan keyakinan, tidak ada siswa bodoh.

"Kalian gak mungkin pintar di semua pelajaran, jadi tak perlu memaksakan. Yang lemah di matematika, barangkali kuat hafalannya. Yang sulit menghafal, bisa jadi suka berhitung." Begitu lebih kurang yang pernah beliau sampaikan.

Beliau nyaris tak pernah marah. Hanya satu kelemahannya, saat pembagian rapor, kelas kami selalu paling akhir keluar. Karena beliau asyik memotivasi pada para wali murid. Dan ada kalanya, kami sudah hafal apa yang beliau sampaikan.

Guru Curcol

Aku tidak pernah curhat pada guru. Lagi pula zaman itu tidak ada guru yang bertanya-tanya tentang keseharian. Aku juga tidak tau kalau BK berfungsi untuk konsultasi berbagai hal, kupikir yang masuk ke ruang itu adalah mereka yang bermasalah.

Tapi ada beberapa guru yang kerap curcol. Misalnya guru english yang cerita nilai pemberiannya diprotes wali kelas. "Kemarin rendah sekali, sekarang tinggi sekali. Saya cuma kasih sesuai nilai ujian, saya tau kamu gak nyontek."

Tapi si bapak tak tau kalau nilaiku mulai naik karena aku sedang gandrung dengan lagu barat. Kalau rumus-rumus itu, kepalaku selalu menolaknya.

Ada pula guru agama yang cerita hal sama. "Nilai PPKn kamu rendah ya, Syarifah?" dengan suaranya yang menggelegar, si bapak bertanya.

"Tiap bagi rapor, Pak."

Baca juga: Agar Anak Mau Belajar di Rumah

"Oo, kamu. Pantes saya kasih agama tinggi, Bu L protes!" katanya. "Saya kasih liat kertas ujian kamu, saya suruh tes sendiri kamu nulis Arab. Gak mau ibunya. PPKn ya PPKn, agama ya agama. Kenapa harus sama ...," omel si bapak.

Aku jadi berpikir keras, apakah ini efek dari protesku suatu hari dulu. Aku pernah mendatangi wali kelas sekaligus guru PPKn, memperlihatkan hasil ujianku dengan nilai 100. Sementara di rapor bulanan, nilaiku hanya 70.

Kemudian Bu Guru mengeluarkan sebuah buku besar, "Kamu pernah mengeluarkan baju (ujung kemeja keluar dari rok), ini ada catatan tanggalnya!"

Buset! Pengin nampol takut durhaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun