Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Underestimate

24 November 2020   16:12 Diperbarui: 24 November 2020   16:20 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri Syarifah Lestari

"S itu biso masuk es-em-pe lapan siapo dekengannyo?" tanya tetangga pada Mamak, puluhan tahun silam. Kelahiranku bahkan belum direncanakan.

S inisial kakak sulungku, ia berhasil masuk SMP Negeri favorit. Ditanyakan pada Mamak, siapa backing-nya. Padahal kakakku tergolong anak yang cerdas.

"Inilah dekengannyo!" jawab Mamak menunjuk dirinya sendiri.

Menyekolahkan anak di sekolah-sekolah terbaik lewat jalur resmi adalah kebanggaan bagi Mamak. Sebagaimana lansia umumnya, beliau kerap menceritakan kisah yang sama berulang-ulang.

Jujur saja, kadang hal-hal yang semula menarik, jadi hilang kesan karena terlalu sering diulang. Sampai kasus yang sama berulang, dan si pencerita membuktikan konsistensinya, baru kisah itu menjadi bermakna kembali.

Awas Ditangkap Polisi!

Aku masih ingat wajah, perawakan, sampai cara berjalan Kepala SD yang baru saja menggantikan kepala sekolah yang lama. Ada yang lebih lekat lagi dalam ingatan kanak-kanakku, yaitu ketika beliau masuk ke kelas kami setelah Ebtanas (sekarang UN).

"Bilang ke orang tua kalian, siapa yang mau NEM-nya tinggi, silakan datang ke kantor Bapak di sana!" ia menunjuk pada bangunan yang terpisah dari kelas maupun kantor guru. "Bawa amplop!"

Maka pesan itu kusampaikan pada kakakku, yang dulu dituduh masuk SMP lewat jalur "khusus". Ia kesal mendengarnya. Dan setelah nilai Ebtanas murni (NEM) keluar, ia langsung menulis Surat Pembaca, mengkritisi kejanggalan yang nampak telanjang di SD Negeri itu.

Bagaimana tidak, NEM tertinggi justru didapat oleh mereka yang satu dua kali mengulang di kelas yang sama. Mereka yang lebih dulu masuk SD lalu bertemu denganku di suatu kelas, karena tidak naik.

Aku tak ingat persisnya, sampai urutan ke-5 atau 10 nilai tertinggi, semuanya adalah siswa yang tak disangka-sangka mendapatkan prestasi tersebut. Para siswa yang langganan juara kelas pun melongo, karena nilai kami terlalu ala kadarnya.

Aku ingat sekali judul tulisan kakakku, NEM Bisa Dikatrol, dimuat di Majalah Tempo tahun 1996. Gara-gara tulisan itu, kakakku ditakut-takuti temannya, awas ditangkap polisi!

Tawaran Membeli "Kursi"

Dulu ada sistem rayon (mungkin sekarang zonasi?) yang untuk mendapatkan sekolah negeri dari satu jenjang ke jenjang berikutnya harus sesuai rayon tersebut.

Untuk masuk ke SMP Negeri terdekat, NEM-ku tak cukup. SMP terdekat lainnya, karena beda kecamatan, jadi tidak satu rayon. Butuh "jalur tertentu" untuk bisa mendaftar ke sana. Maka datanglah seorang guru ke rumahku.

Mamak (dokpri)
Mamak (dokpri)
Guru ini orang terpandang di wilayah kami, guru agama di sebuah SMP Negeri. Ngobrol dengan Mamak tentang sekolah dan blabla lainnya. Setelah dia pulang, Mamak mengabari anak-anaknya.

"Bapak tu nawari Tari masuk sekolah dio. Tapi beli kursi." Beliau ucap begitu sambil tertawa. "Dak ado sejarahnyo anak Mamak nyogok-nyogok!"

Jujur, meski masih kecil, aku menaruh kecurigaan pada Mamak. Bukan tak suka praktik sogok, tapi Mamak tak punya duit untuk membeli kursi. Banyak gaya, pikirku.

Jaminan Doa Mamak 

Tak pernah kusesali bahwa aku tidak menempuh pendidikan SMP di sekolah negeri. Tapi bahwa Mamak tidak mau membayar jalur khusus, itu masih kuyakini sebagai ketidakmampuan berbalut prinsip. Kata orang Jambi, entah iyo entah idak.

Awal tahun 2000, seorang tetangga bercerita di warung Mamak. Ia baru saja menghabiskan uang lebih dari 100 juta untuk meluluskan dua anaknya. Sekian puluh juta untuk si kakak menjadi PNS, sekian puluh lagi untuk si adik lulus sekolah polisi.

Kisah seperti itu biasa dibagikan oleh para pembeli. Sambil memilih dan menawar barang dagangan, tetangga bercerita tentang suaminya yang pengangguran, anaknya ranking pertama, dll.

Kupikir tentang lulus PNS dengan "bayar di awal" akan menginspirasi Mamak. Sebab waktu itu bolak-balik pemerintah membuka keran penerimaan pegawai negeri. Kalau dulu mungkin untuk makan sehari-hari saja susah, alih-alih nyogok. Barangkali sekarang ada peluang entah tabungan siapa untuk meluluskan satu di antara anak-anaknya.

Ternyata prasangka burukku tak terbukti. Tidak sepatah kata pun terucap oleh Mamak. Yang mau tes ya ikut tes lah sana! Mamak cuma mendoakan.

rumah masa kecil kami (dokpri)
rumah masa kecil kami (dokpri)
Bahkan ketika kakakku dan suaminya ikut peruntungan menjadi PNS, kupikir Mamak mendatangi rumah mereka jauh-jauh di luar kota untuk memberi dukungan dana. Sebab "modal awal" berupa kebun sawit dsb sudah ada.

Ternyata ... Mamak justru datang untuk mewanti-wanti pasutri itu. Jangan sampai nyogok! Kalau lulus syukur, tidak juga tak apa. Rezeki Allah itu luas, bukan cuma jadi PNS. Hasilnya, keduanya lulus murni, tanpa ada praktik suap sedikit pun.

Bertahun kemudian, ketika iparku diiming-imingi oknum tertentu akan dijadikan kepala sekolah (dengan "transaksi khusus" tentunya), Mamak kembali mengingatkan, jangan nyogok! Beliau begitu takut kalau-kalau keturunannya termakan rezeki yang tidak berkah.

Padahal ketika melarang, beliau cuma menggaransi doa. Tidak ada janji lain, tapi beliau yakin. Alhamdulillah sebagian besar doa beliau untuk anak-anaknya terkabul. Dan yang paling kusyukuri dari semua itu adalah keistikamahan beliau.

Walaupun rasa syukur itu harus kubayar dengan pengakuan, bahwa firasat yang sejak dulu kupelihara ternyata meleset. Prinsip Mamak tidak sereceh yang kuduga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun