Dulu ada sistem rayon (mungkin sekarang zonasi?) yang untuk mendapatkan sekolah negeri dari satu jenjang ke jenjang berikutnya harus sesuai rayon tersebut.
Untuk masuk ke SMP Negeri terdekat, NEM-ku tak cukup. SMP terdekat lainnya, karena beda kecamatan, jadi tidak satu rayon. Butuh "jalur tertentu" untuk bisa mendaftar ke sana. Maka datanglah seorang guru ke rumahku.
"Bapak tu nawari Tari masuk sekolah dio. Tapi beli kursi." Beliau ucap begitu sambil tertawa. "Dak ado sejarahnyo anak Mamak nyogok-nyogok!"
Jujur, meski masih kecil, aku menaruh kecurigaan pada Mamak. Bukan tak suka praktik sogok, tapi Mamak tak punya duit untuk membeli kursi. Banyak gaya, pikirku.
Jaminan Doa MamakÂ
Tak pernah kusesali bahwa aku tidak menempuh pendidikan SMP di sekolah negeri. Tapi bahwa Mamak tidak mau membayar jalur khusus, itu masih kuyakini sebagai ketidakmampuan berbalut prinsip. Kata orang Jambi, entah iyo entah idak.
Awal tahun 2000, seorang tetangga bercerita di warung Mamak. Ia baru saja menghabiskan uang lebih dari 100 juta untuk meluluskan dua anaknya. Sekian puluh juta untuk si kakak menjadi PNS, sekian puluh lagi untuk si adik lulus sekolah polisi.
Kisah seperti itu biasa dibagikan oleh para pembeli. Sambil memilih dan menawar barang dagangan, tetangga bercerita tentang suaminya yang pengangguran, anaknya ranking pertama, dll.
Kupikir tentang lulus PNS dengan "bayar di awal" akan menginspirasi Mamak. Sebab waktu itu bolak-balik pemerintah membuka keran penerimaan pegawai negeri. Kalau dulu mungkin untuk makan sehari-hari saja susah, alih-alih nyogok. Barangkali sekarang ada peluang entah tabungan siapa untuk meluluskan satu di antara anak-anaknya.
Ternyata prasangka burukku tak terbukti. Tidak sepatah kata pun terucap oleh Mamak. Yang mau tes ya ikut tes lah sana! Mamak cuma mendoakan.