"Mbak, kok diajak gabung dak mau?" tanyaku pada seorang senior.
Selang satu atau dua hari sebelumnya, seseorang mengajakku untuk bergabung dengan komunitasnya. Dengan yang mengajak itu, aku hanya mengenalnya sebatas nama. Saat ia menemuiku di suatu tempat, itulah kali pertama kami berbincang.
Mendengar nama-nama yang ia sebut sebelumnya, aku pun bersedia gabung. Meski beberapa memang tidak kukenal secara baik, mungkin dengan berada pada satu komunitas, kami bisa saling bersilaturahmi.
Kusarankan mengajak pula Mbak X ini. Tapi kata yang mengajakku, Mbak X belum bisa.
"Tari nikmatilah dulu. Tapi aku tebak, tipikal Tari dak akan kuat dengan dia," jawab Mbak X sambil tersenyum penuh arti.
Aduh, prasangka buruk di kepalaku seolah ketemu jodohnya. Perkawinan antara su'uzhon dan sugesti. Biasanya langgeng nih!
Baca juga: Taaruf Kuy!
Teman atau Bos?
Segera setelah komunitas terbentuk, diadakanlah berbagai kegiatan. Benar saja, baru satu kegiatan, aku sudah mundur dari kepengurusan.
Bagaimana tidak, setiap hari instruksi bertaburan oleh seseorang dari tempat yang jauh. Layaknya remote control, ia cukup menekan tombol, dan para "pion" di sinilah yang harus ke sana kemari.
Setiap pekerjaan, nyaris tidak ada yang tanpa revisi. Semua harus sempurna. Siapa yang menyempurnakan? Ya para bidak itu!
Untuk selanjutnya, diadakanlah kegiatan yang rencananya akan berjalan rutin. Apa lacur, hanya untuk membedah naskah, Nyonya Remote Control lagi-lagi menginginkan tempat yang wah.
"Buat surat, antar ke gedung itu! Acara literasi harusnya bisa gratis. Nanti aku telepon pimpinannya! Kita undang si anu ya, nanti siapkan dokumentasi, blabla ...."
Aku garuk-garuk jilbab. Dahlah, abaikan saja setiap chatnya. Aku telanjur terbiasa bedah karya sambil selonjor di taman. Di komunitas yang dulu kudirikan, kami nyaman kok rapat di masjid, di bawah pohon, di saung mana saja yang nganggur. Tak perlu surat, tak usah lobi. Yang penting niat!
Begitulah, Mbak X ternyata lebih dulu berinteraksi dengan teman itu. Baginya cukup kenal saja, jangan berurusan. Karena dia tidak bisa meletakkan teman pada tempatnya. Semua orang adalah pesuruh.
Judith Orloff, seorang psikiater yang membagikan tulisannya di situs psychologytoday bercerita. Kebanyakan pasien yang ia hadapi adalah orang-orang yang tertekan dalam sebuah hubungan, entah itu pekerjaan, pertemanan, maupun rumah tangga.
Orloff menyebut orang-orang yang menjadi beban psikologis pasangan atau temannya itu dengan sebutan vampir. Tepatnya Emotional Vampires.
Disebut demikian, karena kehadiran orang-orang ini telah menguras energi fisik orang yang dekat dengannya. Menyerap optimisme untuk dirinya sendiri, dan meninggalkan energi negatif untuk orang lain.
Baca juga: 9 Manusia Beracun
Teman tapi Vampir
Ada 5 tipe vampir yang tidak pantas kita jadikan sahabat. Cukup teman asal kenal aja deh, daripada memutuskan silaturahmi.
1. Narsis
Mereka adalah orang-orang yang selalu menceritakan tentang dirinya sendiri. Giliran kamu ngomong, mereka kehilangan minat untuk mendengar.
2. Pengeluh
Semua orang punya masalah, tapi teman tipe ini seolah tak bisa berdiri di kaki sendiri. Harus ada kaki orang lain tempat ia berpijak. Sekali kamu memberi bantuan, selamanya ia menempel pada kakimu.
3. Tuan/Nyonya Remote
Jagoan menitah yang selalu punya mimpi muluk, tapi memaksa orang lain memenuhi ambisinya. Mereka suka tampil, tapi tidak mau capek.
4. Nonstop Ngoceh
Inilah tipe teman yang membuatmu harus melupakan sopan santun. Sebab jika ia bicara, kamu tidak bisa terus mempertahankan etika mendengar dan tidak menyela. Karena sampai Bang Toyib pulang pun, belum tentu ia berhenti berkicau.
5. Dramatis
Masuk angin bagi orang biasa, digambarkan seperti covid oleh teman tipe dramatis. Ia akan datang terlambat, tidak mengerjakan tugas, dan melalaikan kewajiban lain, dengan alasan yang melampaui akal.
Ada banyak saran yang diberikan Judith Orloff dalam rangka menghadapi orang-orang dengan tabiat seperti di atas. Tapi secara umum, hal paling efektif adalah menggantikan tempat mereka dengan orang-orang yang bisa berempati dan paham batasan sebuah hubungan.
Teman lama Nyonya Remote memberiku pengertian, "Dio itu bos di kantornyo, Tari. Maklumilah kalo dio kayak gitu! Wong lakinyo bae galak dibentak depan Kakak."
Mungkin suaminya perlu dikalungi bawang putih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H