Bukan pikiranku yang kacau, tapi tulisanku memang jelek. Ya Nabi, keturunanmu lebih-lebih Bani Israil, tulisku waktu itu. Lebay sih, namanya juga orang emosi.
Dulu aku sering berseloroh, "Saya keturunan Timur Tengah." Dan orang-orang percaya. Padahal yang kumaksud, ibuku Jawa Timur, bapakku Jawa Tengah. Baru aku sadar, mereka percaya bahwa aku keturunan Timteng, karena nama depanku itu!
Menyayangi Habaib karena Rasulullah
Dalam salah satu ceramahnya, Buya Yahya, pimpinan Pondok Pesantren Al-Bahjah (lebih kurang) mengatakan, "Kalau seorang habib melakukan kekeliruan, pandanglah mereka seperti anak sendiri."
Berarti balik lagi ke kita. Yang suka nampol anak, ya sudah, gebukin sana! Tapi yang sayang pada anak, sesalah apa pun mereka, selalu ada pemakluman.
Begitulah, aku menanggapi kekhilafan si mbak dengan membandingkannya dengan kebiasaan yang sudah berpuluh-puluh tahun kita temui.
Ada orang dari suku tertentu yang tak mau, bahkan melarang anak keturunannya menikah dengan orang di luar sukunya. Ada yang membolehkan keluarganya menikah dengan suku lain, tapi mengecualikan suku tertentu. Dan masih banyak contoh lain lagi.
Terlepas dari apakah analogi kesukuan itu tepat atau tidak, yang jelas seorang muslim memang sepantasnya menghormati keturunan Rasulullah. Bukan karena si keturunan itu, tapi kita memandang pada buyutnya.
Kita mendapat pahala dari amalan kita, biarlah mereka mendapat ganjaran dari perbuatannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI