"Tapi syarifah?"
Aku tak menjawab, karena tak paham maksud ucapannya. Sejak dulu memang itulah namaku, kata seisi rumah, itu pilihan kakak sulung.
Ketika baru mengenal huruf, hanya nama panggilan yang sering kutulis di mana-mana. Tapi ketika masuk SD, kakakku memberi tau nama lengkapku yang membuatku begitu takjub. Hebatnya dia memberiku nama itu!
Tapi untuk pertama kalinya, setelah lebih dari 30 tahun menyandang nama itu. Aku justru malu.
Dalam sebuah perhelatan sastra, seorang perempuan mendekat. Senyumnya mengembang sejak dari jauh, padahal jelas kami tak saling kenal. Ternyata ia melihat namaku pada nametag.
"Assalamu'alaykum," sapanya. Perempuan Aceh itu bertingkah akrab, dan langsung duduk di sebelahku.
Kami ngobrol sedikit, kemudian ia langsung menuju poin pentingnya.
"Syarifah itu, cuma nama atau fam?"
"Oh, cuma nama," jawabku tetap hepi. Tapi dia tidak.
Wajahnya berubah 180 derajat. Bahkan aku mendapati ia buang muka, melengos. Kurang dari satu detik, beranjak menjauh.
Biasanya jika aku marah dan ada laptop di depanku, aku akan mengetik kata SABAR. Dengan huruf kapital berukuran besar, ditambah kalimat "Tenang, Tar. Tenang!" Tapi laptop ada di kamar hotel. Aku hanya mencorat-coret notebook di meja dengan tulisan yang kacau.