Kesannya kayak bercanda ya, Mang. Padahal aku serius!
Tadi, setelah baca alma'tsurah bakda Asar. Dua gerobak siomai lewat di depan rumahku. Biasanya anak-anak yang memanggil. Kalau sedang pengin sih, tidak selalu.
Tapi karena mereka sedang tidur, aku yang keluar. Biasanya lagi, anak sulungku bisa membedakan mana mamang yang pakai masker dan tidak merokok, mana yang sebaliknya.
Karena mamang yang satu sudah jauh ketika aku membuka pintu, jadi aku memanggil yang belakangan. Syukurlah dia mengenakan masker.
Tapi sial, aku tidak pakai kacamata. Jadi baru setelah dekat kusadari, masker si mamang melorot ke dagu. Di mulutnya ada rokok.
Mau gimana lagi, sudah telanjur. Mamang mendekat, aku masuk mengambil piring.
"Lima ribu lima ribu," kusodorkan dua buah piring kecil motif bunga.
Baca juga:Â Kenapa Kita Dilarang Meniup Makanan?
Aku berdiri agak di belakang, seperti kebiasaan setiap jajan dengan mamang apa saja. Baik itu ketoprak, tekwan, dll, termasuk siomai.
Tujuannya, agak tidak diajak ngobrol. Bukan masalah introvert. Aku tau pedagang suka beramah tamah untuk memikat hati pembeli, tapi ngobrol di depan makanan itu berisiko muncrat. Droplet, Mang. Droplet!
Bahkan sebelum covid lahir, aku sudah enggan berurusan dengan pedagang yang hobinya obral cerita di depan makanan. Racik saja, kubayar. Selesai!