Judulnya itu loh, emang kamu siapa? Wkwk, bodo amat. Mau lanjut? Tarik layar!
Meski sudah punya akun di Kompasiana sejak 2011, aslinya aku baru lahir di Oktober 2019 kemarin. Awalnya jujur saja, tergiur K-Reward, tapi setelah itu ternyata masih banyak keuntungan lain menulis di Kompasiana selain urusan duit.
Salah satunya mengenali karakter orang lain dari tulisannya. Meski ini belum tentu benar, tapi mencitrakan diri lewat tulisan itu gak gampang loh!
Bukan kayak akting di depan layar, yang setelah kamera mati, balik ke tabiat asli. Tulisan yang rutin dihasilkan, secara jujur dan perlahan memperlihatkan tabiat penulisnya.
Dari sudut pandangku pribadi, ada 7 penulis yang menurutku menginspirasi:
Kuletakkan kau di awal, Lema. Meski twitterku gak difolback. Membaca artikel penyunting yang kerap dipanggil Daeng ini, rasanya seperti belajar bahasa Indonesia dengan cara yang enak banget.
Kalau guru bahasa dan mengarang di sekolah banyak yang seperti beliau, aku yakin tak sulit mendapatkan penulis berkualitas sejak di bangku sekolah.
Nyatanya zaman sekolah dulu, di mata pelajaran bahasa Indonesia, aku sering disuruh menghafal majas, unsur-unsur cerpen, judul-judul buku, ....
Sedangkan karangannya sendiri jarang diapresiasi. Karena gurunya pun tak paham sasta. Ah sudahlah, malah gibah!
Baca juga:Â 2 Situs Web Wajib untuk Penulis
2. Nenek Nursini
Pertama kali bertemu langsung dengan nenek asal Kerinci ini, di sebuah acara di Kantor Bahasa Jambi. Namanya Nursini Rais, mendebatku entah perkara apa, dan aku juga entah jadi pembicara apa. Sudahlah, capek pula mengingat-ingat yang gak ada duitnya.
Lucunya, aku kemudian mendapatkan naskah buku beliau yang dicetak ulang oleh penerbit lain, untuk kusunting.
Bukunya bagus sekali, sangat menarik. Sayang, namaku sebagai editor tidak tampil di buku tsb setelah diterbitkan. Entah salah siapa, dunia memang kadang kejam. Untung transferannya tetap masuk.
3. Kak Ita
Namanya Ismuziani ita, agak sulit dihafal. Lebih mudah disebut Kak Ita, karena itu yang beliau minta. Dan karena umurnya lebih 5 tahun dariku.
Kok tau? Ya kan kita tukeran nomor WA. Mamak-mamak gitu dong! Kenalan, ngemeng-ngemeng. Semua berawal dari nama depanku, yang dikiranya sama-sama orang Aceh.
Tapi bukan faktor kenal (baca: orang dalam) yang membuatku memasukkan nama kompasianer yang pernah ngedumel soal Label Pilihan ini. Melainkan karena Kak Ita merupakan orang yang banyak berurusan dengan pasien gangguan mental/kejiwaan.
Kebanyakan penulis fiksi memang suka dengan hal-hal berbau psikologi. Ini bukan kata siapa-siapa, tapi aku mendapatinya di FLP (Forum Lingkar Pena), komunitas yang aku ada di dalamnya sejak 14 tahun lalu.
Jadi menyimpan nomor Kak Ita adalah kebutuhanku, untuk suatu saat melakukan wawancara sebagai referensi tulisan. Atau mungkin untuk konsultasi?
4. Kakak yang lahir di Medan itu
Setiap menulis namanya, aku harus masuk lagi ke Kompasiana. Hennie Triana dengan nama belakang apa ya, pokoknya kutebak itu nama suaminya.
Membaca kisah-kisah beliau, aku seperti ngobrol dengan teman-temanku yang dihadiahi Allah tak hanya kehidupan yang lebih baik, tapi juga kepribadian yang baik.
Entah kenapa dunia mempertemukanku dengan orang-orang yang kalap setelah jadi orang kaya. Atau yang belum kaya tapi sombongnya sudah duluan. Atau yang pura-pura kaya padahal aku tau dia menderita.
Nah, di sisi lain, ada teman-teman yang sejak lahir sudah jadi anak gedongan, tapi tabiatnya tenang. Pikirannya positif, pembawaannya sederhana. Dan tidak tau kenapa, membaca tulisan Kak Hennie (sok akrab, hwahaa), aku seperti melihat teman-temanku ini. Â
5. Pak guru jomlo
Artikelnya panjang-panjang, khas guru yang kalau ngomel gak bisa sebentar. Demi views yang banyak, kadang kuklik semua halaman artikelnya, padahal bacanya lompat-lompat. Ups!
Mungkin anaknya baik (aku kan bukan tetangganya, jadi nebak-nebak aja), dan karena sejauh ini pemikirannya bagus, aku benar-benar berharap suatu saat Ozy V. Alandika bisa jadi menteri pendidikan.
Jejak digital ini, Pak. Jangan lupa bagi proyek kalau sudah jadi, ya!
6. Yana Haudy
Dengan cerita tolenya yang lewat terus di timeline Twitter-ku, gimana bisa melewatkan nama kompasianer satu ini?
Membaca omelannya, aku bisa memastikan, kami adalah mamak yang sama-sama jadi korban sekolah daring. Efek positif pandemi, tambah kawan senasib!
Soal tulisan, jangan ditanya. Naik HL teross!
Baca juga:Â Perbandingan Kompasiana dengan Platform Menulis Lainnya
7. Pasangan Opa dan Oma Tjipta
Jadi delapan dong, kan yang terakhir dua orang! Tapi gini, mereka pada dasarnya adalah satu. Lihat saja tulisannya senada, mereka saling mendukung dengan kisah yang jika dijajarkan tak mungkin saling kontra.
Jadi pada intinya Pak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina Tjiptadinata adalah satu kesatuan. Lagian angka 7 lebih enak didengar daripada 8. Kan jadi kayak acara tipi!
Dua sejoli ini jelas menginspirasi mayoritas kompasianer. Karena pengalaman hidup mereka yang inspiratif disebar dalam ribuan jumlah artikel. Tidak mungkin ada kompasianer Taruna ke atas yang belum pernah membaca tulisan keduanya.
Sebenarnya masih ada Fauji Yamin yang tulisannya sering mengangkat sosok-sosok sederhana inspiratif di keseharian. Tapi karena belum banyak artikelnya yang kubaca, jadi khawatir salah orang.
Juga Tonny Syiariel dengan aneka hasil jepretan indah tapi ngeselin, karena kalau dipajang untuk desktop malah pecah. Atau Himam Miladi yang sering HL tapi jarang BW balik, maleslah.
Aku gak mimpi namaku ada di artikel kompasianer lain. Sadar diri, Mak. Ibarat potongan timun di kuah lenggang. Masuk mulut karena gak sengaja kegigit aja. Halah.
Oh ya, gak ada yang spesial kok dengan list ini. Semua kompasianer pada dasarnya menginspirasi, tapi kan halamannya terbatas, tidak mungkin dimuat semua. Terima kasih untuk seluruh kompasianer sekaligus para admin, maaf kalau ada yang keliru. Salam takzim!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H