Barangkali film Indonesia paling populer sepanjang masa adalah film Pengkhianatan G 30 S PKI. Setiap akhir September atau awal Oktober, di mana-mana orang membahas komunis atau G30S/PKI.
Pada kanal Youtube BBC News Indonesia, ditayangkan wawancara dengan narasumber cucu dari mendiang DI Panjaitan dan Murat Aidit (adik dari DN Aidit). Jelas, kedua pihak memiliki persepsi berbeda tentang peristiwa 1965.
Mamakku dulu sering bercerita. Ketika beliau remaja, suatu malam, dekat tengah malam, terdengar bunyi semacam organ tunggal di atas bukit dekat desanya.
Beliau lahir dan tumbuh di Blitar, Jawa Timur. Dari rumah orangtuanya, terdengar nyanyian jer genjer ala PKI yang kita kenal sampai sekarang.
Paginya, terdengarlah berita penculikan para jenderal di Jakarta, dari radio. Aku tak bisa mengonfirmasi ulang cerita ini karena ibuku sedang "disimpan" di tempat yang relatif lebih aman.
Sebab kasus covid-19 di Provinsi Jambi sedang menggila saat ini. Karena beliau lansia, jadi kami pisahkan dari keramaian kota.
Baca juga: Gara-gara PJJ atau Gara-gara Nonton Youtube?
BBC News dan banyak media tentunya berupaya netral dalam menanggapi isu komunisme ini. Bukan pelurusan sejarah, sebab setiap orang punya persepsi masing-masing, dan sejarah ditulis oleh yang menang.
Sekian versi diangkat hanya untuk membandingkan. Seperti cuitan yang kerap dikirim ILC TV One di Twitter, "Kami diskusikan Anda simpulkan!"
Aku sendiri secara pribadi punya opini. Bagaimana pun komunisme, baik dalam bentuk partai maupun faham, tidak cocok berada di Indonesia. Tapi tak menutup kemungkinan, ada pihak yang tak tau menau ikut terkena getah PKI di masa itu.
Sewaktu PKI diberangus, menurut yang kubaca, rakyat turut diberdayakan. Sehingga ada yang menyebut masa-masa itu sebagai pembantaian.
Menurut versi seberang, PKI sebagai partai pun dalam tindakannya merupakan sipil yang dipersenjatai. Panjang kalau dibahas dari mana mereka mendapat senjata, soal lubang-lubang di tiap rumah warga, dst.
Saking buruk stigma PKI, zaman kecil dulu kata "PKI" setara dengan anjing atau hewan/istilah lain yang biasa dipakai untuk memaki seseorang.
Salah satu tetangga lamaku tega membunuh kucing yang datang ke rumahnya. Oleh istrinya, ia diteriaki PKI. Aku menyebutnya biadab.
Di daerah tempat tinggalku semasa kecil dulu, salah seorang sahabat karibku punya kakek. Yang kata kakakku, kakeknya itu dulu adalah PKI.
"Itulah kenapo datuk tu jarang keluar rumah, dio takut ditangkap," kata kakakku.
Gara-gara itu, aku sempat berpikir bahwa PKI itu religius. Sebab kakek temanku setiap hari memakai peci (padahal peci nasional, dulu kukira hanya dipakai untuk ibadah), dan sering membaca buku yang covernya bertulisan Arab.
Setelah dewasa, kupikir-pikir sepertinya kakek sahabatku adalah seorang introvert. Sebab setiap aku datang ia selalu menyambut dengan ramah, tak ada aroma atau karakter khas seseorang dengan stigma buruk PKI.
Beliau pernah punya burung balam, yang sering aku dan temanku pandangi saat bermain. Sang kakek telaten mengurusi burung itu.
Ketika salah satu burung mati, nampak jelas kesedihan di wajah beliau. Alih-alih membunuh kucing, seperti si biadab di atas. Melihat burung mati saja beliau begitu sedihnya. Tak terbayang di benakku beliau sanggup membunuh manusia.
Baca juga: Bule yang Hilang di Indonesia Sejak 1961 Ini Akhirnya Ditemukan?
Jadi, apakah aku akan tetap menonton film Pengkhianatan G 30 S PKI?
Lucunya, untuk pertama kalinya aku menonton film ini secara tuntas dari awal hingga akhir adalah sekira 2 tahun lalu dari Youtube.
Baru nyambung jalan ceritanya, dan bisa lebih kritis karena "dikawal" dengan membaca sejarah dari berbagai versi mengenai komunisme di Indonesia. Tentang Sukarno, Suharto, dan tokoh-tokoh di sekitar mereka.
Jadi tahun 90-an dulu ke mana saja? Melihat Dunia dalam Berita saja aku langsung pulas, boro-boro nonton film berjam-jam sampai tengah malam.
Ketika ditanya guru di kelas besok paginya, tinggal jawab seperti jawaban teman yang diulang-ulang sejak kelas 1. Beres.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI