Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir Adalah Nama Tengah Manusia Indonesia

22 September 2020   16:20 Diperbarui: 22 September 2020   16:23 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di Jambi (Kompas TV)

Waktu kecil, kata "banjir" punya makna positif di kepalaku. Yang terbayang adalah sungai. Banjir berarti anak-anak bisa main air, bahkan berenang.

Rumahku berada di dataran tinggi, hanya ada parit ala kadarnya. Setiap hujan, airnya hilang begitu saja.

Di Jambi Kota Seberang, rumah-rumah dibuat berbentuk panggung. Kata Mamak, itu karena mereka sering kebanjiran. Dalam perjalanan, dari dalam angkot, kulihat yang namanya sungai. Jadi kupikir banjir adalah perkampungan penduduk menjadi sungai, dan orang bersenang-senang.

Antara 2003 akhir atau awal 2004, untuk pertama kalinya aku melihat yang namanya banjir secara langsung, di depan mata. Dan saat itu aku baru saja jadi mahasiswa, bukan anak-anak lagi.

Nostalgia Nyamannya Tahun 90-an

Bukan sekadar karena masih bocah, dengan beban hidup hanya PR. Bagi kebanyakan milienial dari generasi Y, tahun 90-an tentu merupakan masa terindah.

Mataharinya ramah, hujannya ramah. Upacara bendera atau senam pagi hari di sekolah terasa hangat (tidak panas), mandi hujan tak khawatir badai.

Banjir hanya ada di TV, dan kami tak punya TV. Aku tak paham lawakan mendiang Benyamin Sueb dan Warkop, jadi tak juga berminat numpang nonton di rumah tetangga.

Di Bobo dan Ananda, yang tertulis umumnya tentang Indonesia gemah ripah loh jinawi. Kakakku sering membaca Nova, lalu membuat kliping resep. Dari Intisari, yang sering kubaca adalah teka-teki detektif di halaman belakang.

Baca juga: Ini yang Disebut Orang Jambi "Besak Ota"

Ada juga Matra yang isinya kebanyakan foto, aku tak begitu ingat. Dari Majalah Humor yang kukenang hanya karikatur Gusdur dan bahasan soal santet. Konon, orang yang banyak tertawa tidak bisa disantet.

Analisisku sekarang, bukan tak bisa disantet. Tapi siapa juga yang mau nyantet orang gila.

Di Tempo ada Sigit, Tomi, sepatu hitam, dan mobil Timor. Baca cerpen di koran Kompas, 11 tahun kemudian baru aku tau maksud ceritanya. Begitulah, tak banyak yang membahas banjir.

Ketika RCTI masuk ke Jambi, kami sudah punya TV. Banjir sama dengan Jakarta, di Jakarta banyak orang kaya. Mereka mungkin bahagia ketika banjir datang, begitu kesimpulan kanak-kanakku.

Banjir dan Segala Masalah Indonesia Berasal dari Manusianya

Sekira akhir 2003 atau awal 2004, dari dalam angkot kuning rute Simpang Kawat-Rawasari, kulihat air memenuhi pasar Angsoduo. Sampai Simpang Mangga, di antara kemacetan jalan, aku terperangah melihat seseorang mengayuh sampan.

Sampan di tengah kota! Akhirnya kuinsafi, benarlah kata sopir bus Lorena jurusan Jakarta-Jambi waktu itu.

Beberapa hari sebelumnya, aku berdebat dengan seorang sopir. Katanya Jambi lebih panas dari Jakarta. Padahal aku baru saja mengeluh karena merasa kepanasan di sana.

"Saya tuh sampe batuk darah saking banyak debu di sini. Panas juga!"

"Lama gak pulang kayaknya kamu, Jambi mah lebih panas!" lebih kurang begitu kata sopirnya.

"Gak mau ah tinggal di sini lama-lama. Tua di jalan, sana-sini macet."

"Jambi juga macet. Banjir aja yang mungkin belum ada. Sekarang semua kota sama, Neng!"

Benar saja. Setelah banjir surut di hari-hari berikutnya, kemacetan tetap jadi pemandangan sehari-hari warga Kota Jambi.

Sama seperti corona. Virus ini pada dasarnya tidak bisa bergerak, tapi manusianya yang tak bisa diam. Banjir bahkan bukan makhluk hidup, ia adalah akibat dari apa yang disebabkan oleh manusia.

Aku sempat tinggal tak lama di sebuah kawasan di Jakarta. Mendekati musim hujan, sengaja aku pindah menginap di rumah saudara di Jawa Barat. Padahal aku suka suasana tempat tinggalku di Jakarta yang padat dan ramai.

Teman dan tetangga tidak cerita ini itu soal banjir, empunya rumah pun demikian. Hanya aku yang memperhatikan tingkah orang-orang yang santai melempar sekantung sampah sembari jalan ke pasar.

Setiap keluar rumah, mereka seperti "menabung" sampah di kali yang melewati rumah-rumah penduduk. Hujan sedikit saja, bermunculanlah diapers dan pembalut wanita di kolong jembatan, yang bisa terlihat jika aku melongok dari jendela lantai atas.

Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika musim hujan tiba. Maka sebelum itu terjadi, aku mengungsi.

Baca juga: Ini Loh Jambi Itu!

"Jambi itu Indonesia juga," kata kakakku, ketika kami membahas perbedaan kultur Sumatra dan Jawa.

Jadi banjir di Jambi yang dulu tak pernah kutemui, yang belakangan jadi pemandangan tahunan, bisa jadi sama saja sebabnya dengan yang ada di Jakarta.

Memang Jakarta disebut-sebut sudah banjir sejak zaman kerajaan, karena kondisi tanahnya yang menyerupai periuk. Jambi tidak begitu, tapi banjir juga.

Jika digali lebih dalam, tentu tak cuma sampah yang jadi biang. Rusaknya hutan dan sungai juga jadi sebab, tapi sumber utamanya tetap manusia.

Aku sedang malas mencari referensi untuk dasar opini, toh kita semua sudah tau soal itu. Yang jelas, masalah utama kita saat ini adalah mental. Apa pun bencananya, sumbernya manusia. Omong kosong memperbaiki lingkungan, keadaan, atau apa pun, kalau manusianya tak mau berubah.

Kita ini bangsa ngeyel, kaum penyangkal yang punya banyak kambing hitam. Solusinya? Kamu aja yang mikir. Kan sudah kubilang, aku sedang malas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun