Di Tempo ada Sigit, Tomi, sepatu hitam, dan mobil Timor. Baca cerpen di koran Kompas, 11 tahun kemudian baru aku tau maksud ceritanya. Begitulah, tak banyak yang membahas banjir.
Ketika RCTI masuk ke Jambi, kami sudah punya TV. Banjir sama dengan Jakarta, di Jakarta banyak orang kaya. Mereka mungkin bahagia ketika banjir datang, begitu kesimpulan kanak-kanakku.
Banjir dan Segala Masalah Indonesia Berasal dari Manusianya
Sekira akhir 2003 atau awal 2004, dari dalam angkot kuning rute Simpang Kawat-Rawasari, kulihat air memenuhi pasar Angsoduo. Sampai Simpang Mangga, di antara kemacetan jalan, aku terperangah melihat seseorang mengayuh sampan.
Sampan di tengah kota! Akhirnya kuinsafi, benarlah kata sopir bus Lorena jurusan Jakarta-Jambi waktu itu.
Beberapa hari sebelumnya, aku berdebat dengan seorang sopir. Katanya Jambi lebih panas dari Jakarta. Padahal aku baru saja mengeluh karena merasa kepanasan di sana.
"Saya tuh sampe batuk darah saking banyak debu di sini. Panas juga!"
"Lama gak pulang kayaknya kamu, Jambi mah lebih panas!" lebih kurang begitu kata sopirnya.
"Gak mau ah tinggal di sini lama-lama. Tua di jalan, sana-sini macet."
"Jambi juga macet. Banjir aja yang mungkin belum ada. Sekarang semua kota sama, Neng!"
Benar saja. Setelah banjir surut di hari-hari berikutnya, kemacetan tetap jadi pemandangan sehari-hari warga Kota Jambi.
Sama seperti corona. Virus ini pada dasarnya tidak bisa bergerak, tapi manusianya yang tak bisa diam. Banjir bahkan bukan makhluk hidup, ia adalah akibat dari apa yang disebabkan oleh manusia.