Hampir setiap si kakak cerita, adiknya nyambung, "Adek jugo pernah kek gitu!"
"Adek ni pernah bae terus!" protes kakaknya.
"Kalo dak percayo yo sudah," balas adiknya.
Lalu pembicaraan mereka disudahi. Sebagai emak, aku belum menemukan formula yang tepat, bahkan apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi aku jadi terkenang dengan dua kisah berikut, dan tentunya tak ingin anak-anakku meniru orang yang sudah telanjur "selalu punya cerita yang mirip, tapi lebih wow!"
"Story Teller" di SD
Ada seorang anak baru di kelas kami. Sebelum dia, sudah banyak siswa laki-laki yang jadi anggota baru di kelas tsb. Tapi baru dia yang sebentar saja sudah punya banyak sekali teman.
Inisialnya H, ia selalu punya cerita yang membuat orang tertarik untuk mendengar. Kalau saja H adalah milenial dari kalangan Gen Z, barangkali sekarang ia bisa hidup dari penghasilan sebagai influencer.
Setiap hari, kerja H adalah mengobral cerita. Tak tentu kapan belajar kapan istirahat, jadwal yang ada di kepalanya hanya cerita dan cerita.
Lama kelamaan, para pendengar mulai bosan. Sebab jika dia bilang hari ini di sebelah rumahnya adalah bengkel, maka besok ketika topik bahasan adalah makanan, H akan bilang bahwa di samping rumahnya adalah rumah makan.
Jika ada yang menceritakan dingdong, H lagi-lagi mengaku di dekat rumahnya ada dingdong. Bahkan pernah, kami bercerita tentang game tank Nintendo, yang sering kali ketika main berdua, justru saling menembak sesama teman.