Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Corona, Covid, Pandemi Bodo Amat!

9 Agustus 2020   12:27 Diperbarui: 9 Agustus 2020   12:23 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita terlalu sibuk mengomentari mereka yang harus keluar rumah mencari nafkah, padahal ada yang lebih cocok jadi target nyinyir. Yaitu mereka yang masih kekeuh melakukan perjalanan ke luar kota, menuju kota atau provinsi di zona merah.

Dengan maksud bercanda, kukomentari postingan Humas Kota Jambi ketika pasien covid-19 yang tersisa tinggal tiga orang lagi.

"Kalau sudah nol kasus, sedekahan ya, Min!"

Sebentar saja komentarku dibalas admin, "Cocok!" dengan emot tertawa lepas.

Besar sekali harapan kala itu. Barangkali perasaan yang sama juga dimiliki sebagian besar warga kota ini, bahkan juga kota-kota lain yang sempat kuning.

Yang namanya harapan, bisa terjadi, bisa tidak. Dikira setelah kuning akan menjadi hijau, nyatanya malah jadi oranye. Salah satu alasannya, karena kurangnya kewaspadaan masyarakat.

Kita salah menafsirkan harapan. Berharap semua akan segera baik-baik saja, tapi bertingkah seolah semua sudah benar-benar baik-baik saja. Alhasil, semua jadi tidak baik.

Tak lama setelah sekian banyak pasien dipulangkan dari rumah sakit karena sembuh, alih-alih nol kasus. Justru pasien baru bertambah banyak.  

Di beberapa grup, tersebar pesan berbunyi begini:

"Assalamualaikum teman teman sekalian

berikut disampaikan mendahului surat dari RS Mattaher

mulai hari ini sampe batas waktu yang di tentukan

semua poli RS mattaher tutup

baik untuk kontrol ataupun kunjungan pertama

sekian terima kasih"

Beberapa dilanjutkan dengan kalimat lain yang lebih panjang. Kemudian ada satu percakapan yang cukup menarik di salah satu grup.

Seseorang menanyakan pada sumber terpercaya, siapa yang diperkirakan membawa virus itu pertama kali? Pertanyaan tersebut dijawab lebih kurang, "ada pegawai yang ditularkan oleh suaminya. Si suami adalah pengusaha yang biasa bolak-balik ke Jakarta."

Kusambungkan pernyataan tersebut dengan informasi yang dirilis gugus tugas provinsi, penambahan pasien pada hari itu seluruhnya adalah cluster Jakarta.

Kalau dikatakan kita semua butuh ekonomi membaik, siapa pun setuju. Tapi ternyata begitu sulit membuat orang meyakini satu hal tanpa mengabaikan hal lain. Ekonomi mungkin nomor satu, tapi kesehatan bukan nomor dua.

Lalai dan tidak peduli nyatanya bukan hanya terjadi di lingkungan, katakanlah kelas bawah. Orang yang menurut kita berpendidikan, paham agama (peduli dan mengerti hak orang lain), juga tak selalu mematuhi protokol kesehatan yang sudah ribuan kali seliweran di depan mata dan telinga.

Seorang kenalan belum lama ini berangkat ke Jakarta, tujuannya penting. Untuk memenuhi stok dagangannya yang sudah nyaris kosong. Kami menghitung tanggal sejak ia kembali, mengantisipasi jika ia datang atau mengundang.

Belum sepekan dari ia tiba, ybs bergabung dalam sebuah obrolan yang tidak direncanakan. Berharap ia karantina mandiri hingga 14 hari? Jauh! Bahkan sejak kepulangannya di hari pertama, ia sudah melayani pembeli.

Tanpa masker, tanpa jaga jarak. Bahkan suami melihat dropletnya bertebaran saat ia bicara. Hft!  

Selain tak bisa membedakan harapan dan kenyataan, kita juga kerap salah meletakkan persepsi. Melihat orang lain tetap bepergian, seolah tak mau ketinggalan. Dia tetap pergi, kenapa aku tidak boleh.

Bukan sebaliknya. Dia sudah pergi, biarlah aku tetap tinggal, mengurangi risiko. Tapi mau bagaimana ya, beda kepala beda pula isinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun