Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Punya Harta Tanpa Utang Itu Harusnya Bisa!

7 Agustus 2020   15:16 Diperbarui: 8 Agustus 2020   04:05 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi utang (sumber: Dreamstime via kompas.com)

Sekali lagi kuulang, bahwa dulu sekali, seseorang pernah bilang bahwa tak mungkin bisa punya barang kalau bukan dengan cara kredit.

Setelah berpuluh tahun pendapat itu jadi mindset, di hari raya, aku dan suami bertandang ke rumah orangtua angkatnya.

Orang tua itu kini memiliki beberapa unit rumah sewa. Ketika kami datang, rumah utamanya pun sedang dibenahi. Ada toko kecil di depan, dan sebuah kolam di samping.

Rumah itu tidak mewah. Tapi cukup membuat takjub, karena penghuninya terdiri dari tiga orang yang masing-masing bekerja sebagai binatu, kuli bangunan, dan nenek yang menjaga toko.

"Pinjam duit bank ya, Mak?" tanya suami. Agak khawatir.

"Wah, mana berani Mamak pinjam duit bank. Bayar pake apo?" katanya.

Diam-diam aku menyimak, sambil memperhatikan anak-anak yang memberi makan ikan.

Baca juga: Utang HP dan Tawaran Investasi Tak Kenal Rugi

"Dari dulu dak pernah urusan dengan bank. Takut," lanjut mertua angkatku. "Ini hasil kerjo ayuk kau. Duit dari nyuci nggosok itu dio tabung, dibelikan emas. Lamo-lamo dibelikan bahan bangunan, Sabtu Minggu lakinyo pelan-pelan bikin bedeng tu." Beliau menunjuk beberapa bedeng di belakang rumah utama.

Ya Allah, tertohok rasanya. "Lu jadi kuli orang dah berapa tahun, Tar?" Hatiku menghina dirinya sendiri.

Kalau kuramal-ramal, setelah usianya 40, barangkali yang dipanggil ayuk itu tak perlu lagi mencuci-gosok di rumah orang. Cukup bermain dengan anak, sambil jaga toko dan ikan (waktu aku datang mereka sudah akan panen), sembari promosi pintu mana yang kosong di rumah belakang.

Ah, memangnya aku tahu, berapa usia si ayuk sekarang. Yang jelas dengan kejadian itu dan beberapa kejadian lainnya, statement bahwa kita tak bisa punya sesuatu yang besar tanpa berurusan dengan bank, leasing, dsb, sudah kucabut paksa dari kepalaku.

Sebenarnya prinsip yang sama juga dipegang oleh orangtuaku sendiri. Dulu di antara para tetangga, kamilah yang konsisten tak punya TV dan kendaraan. Alasannya, orangtuaku tak berani berutang.

Padahal orang lain berani berutang pada mereka. Tidak sedikit yang meminjam uang, beras, bahkan emas pada orangtuaku. Bikin tepok jidat!

Sampai kemudian, salah seorang kakakku menjadi orang pertama di rumah kami yang mengajukan kredit untuk usahanya. Untuk usaha ya, bukan beli barang mewah. Dan itu pun tidak dengan mudah didapatkan.

Ada sekian proses yang harus dilewati. Belum lagi dokumen, jaminan, dan macam-macam hal yang harus kita punya. Beda jauh dengan sekarang.

Ketika kebanyakan pengguna HP sudah beralih ke WA, "para pemberi utang" asyik menebar jerat mereka lewat SMS.

Tukang kredit yang dulu kerap menawarkan pinjaman ke warung mamakku kalah canggih dengan pinjol yang sekarang berserak di internet. Utang dibuat jadi lebih mudah.

Baca juga: Tempat Menyimpan Uang yang Tak Terpikirkan

Bahkan kemarin, media memberi "kabar bagus", akan ada pinjaman tanpa bunga dari pemerintah untuk pegawai bergaji di bawah 5 juta per bulan.

Sebagai awam, aku bingung sih. Pinjaman diberikan pada pegawai, mungkin sebagai jaminan bahwa mereka pasti membayar (dengan gajinya). Tapi bukankah pinjaman itu akan beralih pada hal-hal yang bersifat konsumtif? Stimulus ekonomi ya? Lewat tindakan konsumsi di masa susah begini?

Ah sudahlah. Aku sebenarnya hanya ingin mewanti-wanti siapa saja, termasuk diri sendiri, agar jangan mudah berutang. Karena utang tetaplah utang, harus dibayar.

Lusa lalu, seorang ibu rumah tangga di Wonogiri ditangkap polisi karena mencuri sertifikat milik adik kandungnya. Apa yang membuat ia sekalap itu?

Si ibu terjerat utang pada rentenir. Dua tahun ia menjadi buron karena perbuatannya, sampai kemudian ditangkap, sedang sertifikat sudah beralih tangan (berita kompas).

Sebagai penutup, kukuatkan pendapatku dengan kenangan lebaran sebelum pandemi. Seorang abang datang ke rumah, bermobil sekeluarga dari Bandung.

Salah satu tujuan kedatangannya adalah untuk pamer. Pamer yang positif. Karena mereka datang bersama alphard baru, yang berhasil dimiliki dengan cara beli cash.

"Kau hanya kentang!" kata hatiku, makin kurang ajar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun