Ah, memangnya aku tahu, berapa usia si ayuk sekarang. Yang jelas dengan kejadian itu dan beberapa kejadian lainnya, statement bahwa kita tak bisa punya sesuatu yang besar tanpa berurusan dengan bank, leasing, dsb, sudah kucabut paksa dari kepalaku.
Sebenarnya prinsip yang sama juga dipegang oleh orangtuaku sendiri. Dulu di antara para tetangga, kamilah yang konsisten tak punya TV dan kendaraan. Alasannya, orangtuaku tak berani berutang.
Padahal orang lain berani berutang pada mereka. Tidak sedikit yang meminjam uang, beras, bahkan emas pada orangtuaku. Bikin tepok jidat!
Sampai kemudian, salah seorang kakakku menjadi orang pertama di rumah kami yang mengajukan kredit untuk usahanya. Untuk usaha ya, bukan beli barang mewah. Dan itu pun tidak dengan mudah didapatkan.
Ada sekian proses yang harus dilewati. Belum lagi dokumen, jaminan, dan macam-macam hal yang harus kita punya. Beda jauh dengan sekarang.
Ketika kebanyakan pengguna HP sudah beralih ke WA, "para pemberi utang" asyik menebar jerat mereka lewat SMS.
Tukang kredit yang dulu kerap menawarkan pinjaman ke warung mamakku kalah canggih dengan pinjol yang sekarang berserak di internet. Utang dibuat jadi lebih mudah.
Baca juga: Tempat Menyimpan Uang yang Tak Terpikirkan
Bahkan kemarin, media memberi "kabar bagus", akan ada pinjaman tanpa bunga dari pemerintah untuk pegawai bergaji di bawah 5 juta per bulan.
Sebagai awam, aku bingung sih. Pinjaman diberikan pada pegawai, mungkin sebagai jaminan bahwa mereka pasti membayar (dengan gajinya). Tapi bukankah pinjaman itu akan beralih pada hal-hal yang bersifat konsumtif? Stimulus ekonomi ya? Lewat tindakan konsumsi di masa susah begini?
Ah sudahlah. Aku sebenarnya hanya ingin mewanti-wanti siapa saja, termasuk diri sendiri, agar jangan mudah berutang. Karena utang tetaplah utang, harus dibayar.