Bayangkan, dengan tiga KTP, aku bisa jadi jutawan! Tapi entah siapa yang membisiki, aku disarankan menunggu kloter pertama cair dulu.
Lihat dulu, beneran gak mereka dapat hasil dari investasi itu? Kalau ketipu, kan malu. Dulu tak terpikir soal data, karena berita-berita pencurian data tak pernah muncul.
Yang ramai di TV adalah preman yang minta duit penumpang bus dengan modus ngamen, narkoba, judi sabung ayam, dll di berbagai channel TV dengan nama program yang mirip-mirip.
Berita tentang investasi bodong juga tak pernah terdengar, atau kami yang melewatkannya. Pernah kucari di internet, tapi tak banyak berita yang kudapat.
Akhirnya kupilih menunggu saja daripada ikut mendaftar. Semua orang di rumah itu berjanji akan memberiku sedikit bagian mereka jika benar dana itu cair.
Jadi kalau ada 5 orang yang menyumbang untukku, totalnya lumayan juga untuk modal kelayapan dari kopaja satu ke kopaja lain, sebagaimana yang sering kulakukan dulu.
Apalagi saudara-saudara di Tanah Abang, yang juga didaftar dan bayarkan oleh Pak Haji, ikut berjanji. Wah, tanpa namaku terdaftar sebagai investor, aku punya mimpi yang sama dengan mereka.
Aku ikut berdoa, ikut senang, ikut ngimpi. Lama-lama ... ikut sedih.
Sebab sejak aku menginjakkan kaki di Cileungsi, sampai hari ini, entah sudah berapa purnama, dana itu tak pernah cair.
Pak Haji bukan lagi tokoh masyarakat tersohor dengan rumah paling mentereng di sana. Sudah banyak orang kaya baru yang jauh lebih kaya, tapi semuanya bukan berkat investasi itu.
Anehnya, nama Yayasan A masih bisa ditelusuri, bahkan ada grup FB-nya yang terbuka dan aktif. Kulihat masih banyak orang-orang yang berharap atas nama keikhlasan dan ketabahan.