Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Jadi Korban Lambe Unfaedah

27 Juli 2020   15:43 Diperbarui: 27 Juli 2020   15:42 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi via freepik,com

Belum lama aku menikah, A datang ke rumah. Saat ia tiba, aku sedang mencuci piring sedangkan suami tengah tidur.

Masih dalam waktu yang berdekatan, datang pula B ke rumah. Kala itu, aku yang sedang tidur. Sementara suami memasak.

Bertahun-tahun kemudian, berceritalah si C dan D padaku. C mendapat kabar dari A, bahwa aku diperbudak suami. Kasihan, suami enak-enakan tidur, istri yang membereskan rumah.

Lain lagi berita yang dibawa D. Kata B padanya, aku memperbudak suami. Istri macam apa, suami masak dia tidur!

Untungnya C dan D menyampaikan cerita itu setelah kejadiannya lama berlalu. Dan bagusnya lagi, mereka sebenarnya sudah paham lebih dulu, rumah tangga ya begitu. Ada masanya suami yang beres-beres, ada pula waktunya istri yang melakukan. Sebab urusan nafkah pun, kami sama-sama mencari.

Kalau mengikuti omongan orang, Tuhan pun bisa salah. Simak lagi curcol dua orang teman saat pertemuan belum lama ini. Setelah berbulan-bulan kami dipisahkan oleh pandemi.

Si E mengeluh karena diminta pulang kampung oleh keluarga besarnya. Di sana, sudah disiapkan calon suami untuknya.

Orangtua E sendiri sebenarnya tak terlalu mendesak E untuk segera menikah. Usianya memang sudah kepala tiga, tapi E tak mau gegabah. Baginya menikah harus seumur hidup, dan waktu seumur hidup terlalu panjang jika dilalui bersama orang yang tidak tepat.

E keberatan menikah dengan laki-laki di kampung karena adat yang mereka pakai menyusahkan hatinya. Calon suami nyaris tak menyiapkan apa pun, sementara isi kamar dan modal resepsi harus disediakan sendiri oleh si perempuan.

Kesannya ngoyo hanya untuk lepas dari status gadis tua. Diterima berat hati. Ditolak, makin menjadi-jadi lidah orang mengulitinya. Orangtua E tak keberatan anaknya memilih sendiri, tapi keluarga besar yang tak tahan.

Barangkali inilah cikal bakal tajamnya jari netijen.

Lain kasus E, lain pula curhatan F. Sampai huruf apa kira-kira tulisan gak penting ini berakhir?

Mata F berkaca-kaca saat menceritakan adik, kakak, dan iparnya yang berganti-ganti hamil. Sementara ia yang sudah menikah sejak 6 tahun lalu masih berusaha dan menanti datangnya momongan.

Mirip seperti E, orangtua dan mertua F pun bisa memaklumi, berusaha memahami, karena mereka juga melihat betapa besar upaya F dan suami agar bisa memiliki anak.

Tapi tetangga dan orang yang sekadar kenal nama, tak sudah-sudah mencela atau sok peduli tapi dengan bahasa menyebalkan. Tak terhitung berapa orang yang menyarankannya ke dukun, lalu memvonis ia tak berusaha karena tak mau menuruti saran tercela itu.

Alhasil, kami bertemu hanya untuk berbagi sebal. Kalau benar perempuan itu punya jumlah minimal kata yang harus dilontarkan, di situlah kami melimpahkannya sampai tumpah ruah.

Dan gara-gara cerita F yang jadi bahan julid tetangga karena anak, aku jadi terkenang masa-masa hamil pertama.

Waktu itu usia kandunganku sudah masuk enam bulan. Keluarga suami datang menjenguk, ngobrol ini itu, hingga tiba ke topik paling unfaedah.

"Ini sudah berapa bulan hamilnya?" tanya emak-emak itu.

"Enam bulan," jawabku.

"Kalian nikah bulan apa?"

Perasaanku langsung tak enak. Meski begitu, kujawab juga. "November akhir."

Dia pakai jari-jari tangannya untuk menghitung, tepat di depan mukaku.

"Desember, Januari, Februari ... oh iya pas, enam bulan lebih."

Kenapa dia gak langsung tanya, "Kamu bikin anak dulu atau akad dulu?" to the point gitu kan enak. Buat ditampol.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun