Lain kasus E, lain pula curhatan F. Sampai huruf apa kira-kira tulisan gak penting ini berakhir?
Mata F berkaca-kaca saat menceritakan adik, kakak, dan iparnya yang berganti-ganti hamil. Sementara ia yang sudah menikah sejak 6 tahun lalu masih berusaha dan menanti datangnya momongan.
Mirip seperti E, orangtua dan mertua F pun bisa memaklumi, berusaha memahami, karena mereka juga melihat betapa besar upaya F dan suami agar bisa memiliki anak.
Tapi tetangga dan orang yang sekadar kenal nama, tak sudah-sudah mencela atau sok peduli tapi dengan bahasa menyebalkan. Tak terhitung berapa orang yang menyarankannya ke dukun, lalu memvonis ia tak berusaha karena tak mau menuruti saran tercela itu.
Alhasil, kami bertemu hanya untuk berbagi sebal. Kalau benar perempuan itu punya jumlah minimal kata yang harus dilontarkan, di situlah kami melimpahkannya sampai tumpah ruah.
Dan gara-gara cerita F yang jadi bahan julid tetangga karena anak, aku jadi terkenang masa-masa hamil pertama.
Waktu itu usia kandunganku sudah masuk enam bulan. Keluarga suami datang menjenguk, ngobrol ini itu, hingga tiba ke topik paling unfaedah.
"Ini sudah berapa bulan hamilnya?" tanya emak-emak itu.
"Enam bulan," jawabku.
"Kalian nikah bulan apa?"
Perasaanku langsung tak enak. Meski begitu, kujawab juga. "November akhir."