Kali kedua sama saja. Aku memilih kado sekenanya, dan mendapatkan barang yang di tanganku juga tak berguna. Kalau tak salah jilbab licin yang pendek. Bedanya, kali ini aku merasa kecewa.
Tapi kemudian kupikir-pikir lagi. Dua kali tukar kado dan berakhir dengan membawa pulang barang yang tak diinginkan. Sepertinya ada yang salah.
Pada akhirnya kuinsafi, sepertinya ketidaksungguhanku memberi yang terbaik pada orang lain berimbas pada diri sendiri. Yang kuterima adalah sama dengan yang kuberi. Asal-asalan.
Pada akhirnya kuinsafi, sepertinya ketidaksungguhanku memberi yang terbaik pada orang lain berimbas pada diri sendiri. Yang kuterima adalah sama dengan yang kuberi. Asal-asalan.
Jadi meski budget kami semua sama, kebahagiaannya berbeda. Barang yang kuterima tidak bermanfaat untukku, tapi tak bisa dan tak enak mengajak bertukar dengan orang lain.
Akhirnya pada kesempatan berikutnya, kuperbaiki niat. Ketika momen tukar kado terjadi lagi, kusiapkan waktu untuk memikirkan apa yang kira-kira memang dibutuhkan temanku, siapa pun yang nantinya menerima.
Kusiapkan waktu untuk mencari kado yang tepat. Pilih sekian opsi, bukan sekadar lewat lalu comot seketemunya barang.
Benar saja. Setelah prosesi undi yang sederhana, kemudian kami saling membuka, aku merasa bahagia. Barang yang kuterima sih biasa saja, tapi memang dibutuhkan. Kaus kaki sebetis yang masih awet hingga sekarang.
Begitu pula teman yang menerima kadoku. Ia tidak tahu barang itu pemberianku, dan memang begitu peraturannya. Aku pun tak tahu dari siapa kaus kaki yang kuterima.
Tapi di posisi lain, kulihat wajah bahagia salah seorang teman yang mendapat buku pemberianku. Entah apa judulnya waktu itu, yang jelas sepertinya tepat dengan kebutuhannya.
Di kali lain, ketika aku mengado jam weker dengan warna dan bentuk terbaik, aku menerima tempat sampah kecil lucu, yang kurencanakan untuk dibeli suatu saat.