Siapa sih yang gak suka diberi hadiah? Ternyata ada. Padahal bukan hadiah dengan tanda kutip, semisal "dihadiahi" timah panas, dsb. Bukan itu.
Sedang jalan-jalan di sebuah laman, bertemulah aku dengan sebuah artikel yang membahas tentang hadiah.
Ternyata, jika memberi hadiah pada seseorang, pertimbangkan alasan yang lebih tepat. Memberi hadiah dalam rangka membantu seseorang agar lebih hemat waktu lebih baik daripada membantunya menghemat uang.
Ternyata, jika memberi hadiah pada seseorang, pertimbangkan alasan yang lebih tepat. Memberi hadiah dalam rangka membantu seseorang agar lebih hemat waktu lebih baik daripada membantunya menghemat uang.
Alasannya, memberi hadiah agar seseorang menghemat uangnya adalah terkait dengan pendapatan. Yang itu mengena pada harga dirinya.
Beda dengan memberi hadiah agar seseorang menghemat waktu, yang dianggap benar-benar membantu efisiensi waktunya.
Maka, seseorang akan lebih suka diberi hadiah sepeda motor agar ia cepat tiba di tempat kerja, daripada diberi paket sembako yang bisa menghemat pengeluarannya. Ya iya!
Aku juga punya pengalaman terkait memberi dan menerima hadiah. Dalam sebuah komunitas, sesekali, tanpa momen apa pun, kami mengadakan acara tukar kado.
Dua kali terjadi, karena merasa tidak ada yang spesial, jadi aku tak begitu perhatian akan memberi apa. Tidak kupersiapkan kado terbaik di momen yang bagi teman-teman mungkin istimewa. Pokoknya pergi saja, nanti di jalan mampir ke swalayan, cari kado sesuai budget yang disepakati. Sudah.
Pada kejadian pertama, aku mendapat pot bunga. Bisa dibilang gak guna, karena aku jauh dari urusan tanam menanam. Santai saja, kubawa pulang. Lalu entah di mana barang itu berada.
Aku sendiri waktu itu entah mengado apa, saking tak spesialnya. Tidak begitu dipikirkan, bahkan bisa dibilang tak terniat.
Kali kedua sama saja. Aku memilih kado sekenanya, dan mendapatkan barang yang di tanganku juga tak berguna. Kalau tak salah jilbab licin yang pendek. Bedanya, kali ini aku merasa kecewa.
Tapi kemudian kupikir-pikir lagi. Dua kali tukar kado dan berakhir dengan membawa pulang barang yang tak diinginkan. Sepertinya ada yang salah.
Pada akhirnya kuinsafi, sepertinya ketidaksungguhanku memberi yang terbaik pada orang lain berimbas pada diri sendiri. Yang kuterima adalah sama dengan yang kuberi. Asal-asalan.
Pada akhirnya kuinsafi, sepertinya ketidaksungguhanku memberi yang terbaik pada orang lain berimbas pada diri sendiri. Yang kuterima adalah sama dengan yang kuberi. Asal-asalan.
Jadi meski budget kami semua sama, kebahagiaannya berbeda. Barang yang kuterima tidak bermanfaat untukku, tapi tak bisa dan tak enak mengajak bertukar dengan orang lain.
Akhirnya pada kesempatan berikutnya, kuperbaiki niat. Ketika momen tukar kado terjadi lagi, kusiapkan waktu untuk memikirkan apa yang kira-kira memang dibutuhkan temanku, siapa pun yang nantinya menerima.
Kusiapkan waktu untuk mencari kado yang tepat. Pilih sekian opsi, bukan sekadar lewat lalu comot seketemunya barang.
Benar saja. Setelah prosesi undi yang sederhana, kemudian kami saling membuka, aku merasa bahagia. Barang yang kuterima sih biasa saja, tapi memang dibutuhkan. Kaus kaki sebetis yang masih awet hingga sekarang.
Begitu pula teman yang menerima kadoku. Ia tidak tahu barang itu pemberianku, dan memang begitu peraturannya. Aku pun tak tahu dari siapa kaus kaki yang kuterima.
Tapi di posisi lain, kulihat wajah bahagia salah seorang teman yang mendapat buku pemberianku. Entah apa judulnya waktu itu, yang jelas sepertinya tepat dengan kebutuhannya.
Di kali lain, ketika aku mengado jam weker dengan warna dan bentuk terbaik, aku menerima tempat sampah kecil lucu, yang kurencanakan untuk dibeli suatu saat.
Begitulah, memberi dan menerima ada rumusnya. Ketika berusaha memberikan yang terbaik, maka kita pasti akan menerima yang terbaik pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H