Sudah sejak Juni aku ingin menulis tentang "Sapardi yang dikhianati". Sebab Hujan Bulan Juni sekarang nyata, bahkan ada yang sampai kebanjiran.
Berbeda dengan pernyataan almarhum yang diberitakan kompas.com pada 15 Juni 2015, "... pada 1989, ketika ia menulis puisi tersebut, hujan memang tak pernah jatuh pada bulan Juni."
Tapi sudah melewati tengah Juli, belum tuntas konsep di kepalaku, apa yang sebenarnya benar-benar ingin kusampaikan mengenai hujan, Juni, atau Sapardi Djoko Damono.
Iriani R. Tandy, Penyair Jambi Pengagum SDD
Pada akhirnya aku teringat seorang penyair yang berada satu kota denganku. Namanya Iriani R. Tandy. Dalam sebuah perjumpaan, penulis puisi 60 tahun itu pernah bilang, bahwa ia adalah pengagum Sapardi.
Pada pertemuan sastrawan se-Sumatra, almarhum Sapardi pernah menyebut, puisi Iriani terasa berbeda dari umumnya sastrawan masa kini.
Puisi lainnya terangkum dalam Antologi Puisi se-Sumatra (1995), Pemintal Ombak, Sanggar Sastra Purbacaraka Awards, Udayana Bali (1996), Antologi Puisi Indonesia, KSI (1997), Musim Bermula Penyair Perempuan se-Sumatra (2001), Musim Kemilau Penyair Perempuan Indonesia (2002), Pesona Gemilang Musim, Penyair Indonesia, Malaysia, Singapura (2004), dll.
Buku teranyar miliknya yang pernah kupunya adalah Tiga Bangku, antologi puisi yang ia tulis bersama Diah Hadaning dan Yvonne De Fretes.
Yang cukup berkesan adalah kebiasaan Bu Irin jika bertemu denganku. Ia kerap menyapa riang dengan kalimat, "Ini anak aku!" sambil menerima salam hormatku sebagai "anak".
Jelas tak seorang pun percaya. Iriani R. Tandy adalah seorang beretnis Cina dengan warna kulit yang khas. Sementara aku, terlalu berwarna. Halah.
Tapi sebagai sesama penikmat sastra, aku yakin kami punya banyak kesamaan. Jika tidak, tak mungkin kami masih akur-akrab hingga hari ini meski dengan sekian banyak perbedaan, bawaan lahir maupun pilihan hidup.
Aku pun Menulis Puisi
Ketika masih menjadi ketua komunitas penulis, kukumpulkan sekian orang anggota yang berminat pada puisi, kuantar satu per satu ke kios Bu Irin. Nenek-nenek Tionghoa itu, dulu berjualan sate padang. Kami bertandang ke sana untuk belajar menulis puisi, bukan sekadar menikmati.
Sesekali mencicip sate dagangannya, atau sekadar menyeruput air mineral yang dijajar di meja, jika saku sedang gak ngangkat buat jajan.
Dulu, menjual air mineral di kios makan sejenis sate, bakso, dsb, memang lebih banyak dilakukan keturunan Chinese. Hal itu untuk mengantisipasi pembeli muslim yang menghindari penggunaan alat minum, khawatir tercampur dengan perabotan penjual yang non-muslim. Â
Belakangan hampir semua pedagang makanan tak menyediakan air minum gratis, diganti air mineral yang bisa menambah pemasukan.
Dengan kesederhanaan seorang Iriani, kami tak perlu ruang ber-AC atau tempat berkelas mana pun untuk menimba ilmu. Lain waktu kami akan bertemu di saung milik SDIT atau lesehan di ruang publik untuk mendiskusikan banyak hal.
Dengan cara dan gayanya pula, aku yang biasanya menulis cerpen, dan benci menulis puisi (karena kerap geli membaca karya sendiri), akhirnya tertarik pula untuk coba bersyair.
Dan inilah salah satu puisi yang kutulis sekira lebih dari 10 tahun lalu, antara jengkel dan sayang pada sepeda motor tunggangan yang sulit menyala meski telah berkali-kali diengkol. Â Â
Kepada Semprul
Ingin kupintal surga untukmu
Saat kau bawa aku berhujan, dan kutulis puisi pada angin
Tanpa kau bisa merekam cacimakiku
Tapi cemberut kulihat memahat di wajahmu
Sejalan kita menggelinding impian di aspal
Meski senja kita sama
Kau akan berada pada kesunyian gudang, dan aku pada lingkar sunyiku sendiri
Tapi, kita akan tetap memintal surga
 Â