Ketika masih menjadi ketua komunitas penulis, kukumpulkan sekian orang anggota yang berminat pada puisi, kuantar satu per satu ke kios Bu Irin. Nenek-nenek Tionghoa itu, dulu berjualan sate padang. Kami bertandang ke sana untuk belajar menulis puisi, bukan sekadar menikmati.
Sesekali mencicip sate dagangannya, atau sekadar menyeruput air mineral yang dijajar di meja, jika saku sedang gak ngangkat buat jajan.
Dulu, menjual air mineral di kios makan sejenis sate, bakso, dsb, memang lebih banyak dilakukan keturunan Chinese. Hal itu untuk mengantisipasi pembeli muslim yang menghindari penggunaan alat minum, khawatir tercampur dengan perabotan penjual yang non-muslim. Â
Belakangan hampir semua pedagang makanan tak menyediakan air minum gratis, diganti air mineral yang bisa menambah pemasukan.
Dengan kesederhanaan seorang Iriani, kami tak perlu ruang ber-AC atau tempat berkelas mana pun untuk menimba ilmu. Lain waktu kami akan bertemu di saung milik SDIT atau lesehan di ruang publik untuk mendiskusikan banyak hal.
Dengan cara dan gayanya pula, aku yang biasanya menulis cerpen, dan benci menulis puisi (karena kerap geli membaca karya sendiri), akhirnya tertarik pula untuk coba bersyair.
Dan inilah salah satu puisi yang kutulis sekira lebih dari 10 tahun lalu, antara jengkel dan sayang pada sepeda motor tunggangan yang sulit menyala meski telah berkali-kali diengkol. Â Â
Kepada Semprul
Ingin kupintal surga untukmu
Saat kau bawa aku berhujan, dan kutulis puisi pada angin
Tanpa kau bisa merekam cacimakiku
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!