Temanku yang beberapa tahun belakangan berurusan dengan dinas, mengaku menyesal. Habis idealismenya karena kewajiban yang salah tapi kadung dianggap lazim di lingkungan bisnis itu.
"Tiap mereka datang, kita harus ngamplopin, Kak. Kalau ada bantuan, dana belum cair kita sudah dipajak duluan. Kalau tak ikut, kita dikucilkan," keluhnya.
Aku sih sudah duluan tahu, makanya tak tertarik. Tapi, di mana pun kita berada, risiko semacam itu akan terus ada.
Sebatas pendeknya ilmuku saja. Kupikir inilah kenapa zakat itu ada, gunanya untuk membersihkan harta. Sebab dicari dari lubang mana pun, harta yang didapat berisiko mengandung kotoran-kotoran yang disadari atau tidak, ikut terpakai bahkan termakan bersama nafkah.
Kuberi contoh padanya. Salah satu blog yang kukelola sudah bolak-balik kusaring iklannya, tetap saja iklan tertentu muncul lagi. Judi, riba, dll. Pada akhirnya, tidak semua bisa dikendalikan.
Seseorang pernah bertanya pada suamiku, berapa beliau dibayar sekali khutbah di salah satu masjid? Suamiku tak menjawab angka, karena seringnya amplop diberi pada istri tanpa beliau membukanya.
"Itu bukan profesi, tidak dibayar pun tak masalah. Bukan itu tujuannya," lebih kurang begitu jawabannya sekali waktu.
Tapi orang yang sama kerap bertanya, "Ada job gak? Bagi saya!" yang kemudian lebih sering tak dijawab.
Artinya ia menjadikan kegiatan spiritual tersebut sebagai ladang nafkah. Mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi jelas tidak mutlak dibenarkan. Nah, sampai hal yang terkesan religius begitu pun, masih ada peluang "kotorannya".
Ketika temanku yang lain ngomel-ngomel soal pejabat negara dan anggota DPR yang korup, aku lebih suka jadi pendengar saja.
"Apalah yang kurang ya, rumah besar, mobil banyak, masih juga korupsi!"
"Itu faktor mental," kataku. "Posisi menyesuaikan."
"Yang PNS, apa pun yang terjadi, mereka tetap gajian. Tapi kinerja buruk, kebanyakan ngobrol, suka bolos, mark up ..."
"Ya kita ini cuma beda posisi. Apa juga yang bisa dikorupsiin di medan kering begini. Kalau kita pejabat, aleg, PNS, mungkin gitu juga!" potongku.
Dia yang tadinya berapi-api, kemudian tertawa. "Iya juga ya!"
Contoh terbaru sedang kuhadapi saat ini. Seorang content writer mengajukan diri untuk job menulis yang kubuka. Upahnya memang tidak besar, sesuai standar platform. Bahkan penulis lain menawarkan harga yang lebih rendah.
Meski tak berani bayar mahal, aku juga tidak tega membanderol kelewat murah. Lah iya, kerjaku nulis juga. Bukan sekadar etika, melainkan empati sesama penulis.
Tapi apa lacur. Harga sudah disepakati, kata kunci dari pilar sampai perintilannya sudah diberi, eh artikel tak kunjung datang.
Setelah kuancam tahan dana, dikirimlah satu artikel. Astaghfirullah, pengin banting laptop rasanya. Untuk lima paragraf awal, isinya satu kalimat yang dia putar-putar untuk mencapai kebutuhan jumlah kata.
Karena aku malas repot komplain, kuterima sajalah. Terlepas dari kecurangannya yang tak sesuai antara job description dengan hasil yang dikirimkan. Toh upahnya juga tak sampai nisab untuk bayar zakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H