"Itu faktor mental," kataku. "Posisi menyesuaikan."
"Yang PNS, apa pun yang terjadi, mereka tetap gajian. Tapi kinerja buruk, kebanyakan ngobrol, suka bolos, mark up ..."
"Ya kita ini cuma beda posisi. Apa juga yang bisa dikorupsiin di medan kering begini. Kalau kita pejabat, aleg, PNS, mungkin gitu juga!" potongku.
Dia yang tadinya berapi-api, kemudian tertawa. "Iya juga ya!"
Contoh terbaru sedang kuhadapi saat ini. Seorang content writer mengajukan diri untuk job menulis yang kubuka. Upahnya memang tidak besar, sesuai standar platform. Bahkan penulis lain menawarkan harga yang lebih rendah.
Meski tak berani bayar mahal, aku juga tidak tega membanderol kelewat murah. Lah iya, kerjaku nulis juga. Bukan sekadar etika, melainkan empati sesama penulis.
Tapi apa lacur. Harga sudah disepakati, kata kunci dari pilar sampai perintilannya sudah diberi, eh artikel tak kunjung datang.
Setelah kuancam tahan dana, dikirimlah satu artikel. Astaghfirullah, pengin banting laptop rasanya. Untuk lima paragraf awal, isinya satu kalimat yang dia putar-putar untuk mencapai kebutuhan jumlah kata.
Karena aku malas repot komplain, kuterima sajalah. Terlepas dari kecurangannya yang tak sesuai antara job description dengan hasil yang dikirimkan. Toh upahnya juga tak sampai nisab untuk bayar zakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H