Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kakakku Termakan Kebohongannya Sendiri

30 Juni 2020   15:51 Diperbarui: 30 Juni 2020   16:23 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (kompas.com)

Aku tidak tahu ini cerita mistis atau komedi. Syukur-syukur ada yang menganggapnya inspiratif. Semoga bermanfaat sajalah.

Aku adalah satu dari jutaan anak Indonesia yang semasa kecil ditakuti-takuti oleh orang dewasa. Awas, di situ ada hantu! Ancaman khas untuk menjauhkan kita dari tempat yang tidak aman. Niatnya baik, caranya keliru.

Kakak sulung sering menyebut "momok", untuk membuatku menjauh dari tempat tertentu. Aku memahami bahwa momok adalah sesuatu yang menakutkan, dari ekspresinya.

Ketika kutanya padanya, apa itu momok? Kakakku itu malah menyebut kodok. Dasar labil. Aku tak ingat berapa usiaku waktu itu, bahkan mungkin tak tahu ada di usia berapa. Yang jelas jarak usia kami 15 tahun, artinya dia bukan anak kecil lagi waktu itu. Tapi kurang pas disebut dewasa.

Pokoknya kalau aku agak jauh, ke tempat gelap, dsb, dia akan bilang, "Hii, ado momok di situ!" lalu aku kembali padanya.

Nah, kakakku ini punya kebiasaan menonton TV hingga larut malam di rumah tetangga. Bukan gaul, memang di rumah kami tak ada TV. Tapi aku bersyukur, sepertinya itu yang membuatku tak suka nonton TV sampai sekarang.

Setiap menemani dia nonton, aku akan tertidur di rumah tetangga saat Dunia dalam Berita, lalu bangun ketika ia mengajak pulang. Tak tahu jam berapa itu, pastinya sudah larut malam. Karena acara berita di TVRI saja rasanya bagiku sudah malam sekali.

Baca juga: Kisah Para Penjilat Berbakat

Suatu kali, kakakku mengajak nonton film barat di rumah salah satu tetangga. Sebagaimana biasa, rutinitasku numpang tidur di rumah orang. Begitu bangun, filmnya sudah selesai dan kami pulang.

Kami harus melewati dua dapur rumah tetangga lainnya untuk mencapai dapur kami sendiri. Menjelang tiba di dapur yang satu, tak jauh dari pagar belakang rumahku, ada sesuatu yang menarik perhatian.

Ukurannya sebesar manusia dewasa, tapi rupanya seperti kodok. Berwarna hijau berkilatan tapi tidak terang. Matanya merah cerah. Ia duduk sambil memeluk lutut, di samping tempat sampah besar.

Aku berhenti, menoleh padanya. Ia diam saja. Posisinya tepat di kiri tempat aku berdiri. Kakakku terus saja berjalan.

"Yuk, ado momok!" kataku memanggil kakakku. Ayuk adalah panggilan umum untuk kakak perempuan.

Ia mundur sedikit, lalu menarik tanganku.

"Itu momok lagi duduk!" kataku, mengajaknya melihat.

Kakakku justru berjalan makin cepat. Alih-alih menoleh, aku merasa seperti diseretnya. Bonus tanganku dicubit, semacam instruksi agar aku diam. Aku masih terus menoleh ke belakang, memandangi momok yang tetap diam saja.

Bertahun-tahun kisah ini hanya jadi kenangan, dengan aku yang masih mengira itu adalah momok yang sebenarnya. Seperti deskripsi singkat kakakku, momok itu kodok!

Sampai kemudian, temanku di SMA punya teori. "Setiap kita punya deskripsi sendiri tentang jenis hantu." Ia sengaja memancing kami dengan berkata, "Aku melihat kuntilanak." Lalu dia tanya, "Apa bayanganmu tentang kuntilanak?"

Aku membayangkan perempuan dengan baju putih panjang, berambut panjang, duduk di pohon. Masing-masing temanku punya imajinasi tersendiri.

"Nah itu," katanya. "Kalau kita membayangkan ngeri ya ngeri. Lihat anak-anak, nama hantunya beda-beda tapi mereka punya ide yang sama, hantu itu seram!"

Aku langsung menyambungkan teorinya dengan pengalamanku tentang momok. Dan aku baru sadar, yang kulihat itu ya hantu (tepatnya jin sih, mungkin!) yang nama sampai bentuknya justru diciptakan oleh kakakku.

Kena batunya dia. Dia yang bohong, dia yang ketakutan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun