Aku berhenti, menoleh padanya. Ia diam saja. Posisinya tepat di kiri tempat aku berdiri. Kakakku terus saja berjalan.
"Yuk, ado momok!" kataku memanggil kakakku. Ayuk adalah panggilan umum untuk kakak perempuan.
Ia mundur sedikit, lalu menarik tanganku.
"Itu momok lagi duduk!" kataku, mengajaknya melihat.
Kakakku justru berjalan makin cepat. Alih-alih menoleh, aku merasa seperti diseretnya. Bonus tanganku dicubit, semacam instruksi agar aku diam. Aku masih terus menoleh ke belakang, memandangi momok yang tetap diam saja.
Bertahun-tahun kisah ini hanya jadi kenangan, dengan aku yang masih mengira itu adalah momok yang sebenarnya. Seperti deskripsi singkat kakakku, momok itu kodok!
Sampai kemudian, temanku di SMA punya teori. "Setiap kita punya deskripsi sendiri tentang jenis hantu." Ia sengaja memancing kami dengan berkata, "Aku melihat kuntilanak." Lalu dia tanya, "Apa bayanganmu tentang kuntilanak?"
Aku membayangkan perempuan dengan baju putih panjang, berambut panjang, duduk di pohon. Masing-masing temanku punya imajinasi tersendiri.
"Nah itu," katanya. "Kalau kita membayangkan ngeri ya ngeri. Lihat anak-anak, nama hantunya beda-beda tapi mereka punya ide yang sama, hantu itu seram!"
Aku langsung menyambungkan teorinya dengan pengalamanku tentang momok. Dan aku baru sadar, yang kulihat itu ya hantu (tepatnya jin sih, mungkin!) yang nama sampai bentuknya justru diciptakan oleh kakakku.
Kena batunya dia. Dia yang bohong, dia yang ketakutan!