Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mending Malu 3 Menit daripada Tersiksa 8 Tahun

28 Juni 2020   08:10 Diperbarui: 28 Juni 2020   08:07 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sandy Millar on Unsplash">

Diberitakan oleh dailymail.co.uk pada 7 Februari 2019, sepasang pengantin di Kuwait yang baru 3 menit menikah, bercerai karena sebuah insiden di hari pernikahan mereka.

Keduanya baru saja menandatangani buku pernikahan di depan hakim. Dalam perjalanan menuju pintu keluar, mempelai wanita tersandung yang mengakibatkannya jatuh. Alih-alih menolong, suaminya justru menertawai.

Tak cukup hanya tertawa, sang suami bahkan menyebut istrinya teledor dan bodoh di hadapan orang-orang. Menurut sumber, kejadian itu hanya selisih 3 menit dari saat mereka mengucap akad. Alhasil, sang istri menggugat cerai suaminya di hari yang sama, pada hakim yang masih ada di sana.

Kejadian tersebut menjadi viral di media sosial setempat, banyak yang memberi dukungan kepada sang wanita. Warganet menganggap yang dilakukannya adalah keputusan yang tepat.

Kalau aku berada di sana, atau mengetahui informasi tersebut di waktu yang dekat, barangkali aku pun melakukan hal yang sama. Mendukung keputusan si perempuan untuk menggugat cerai suaminya.

Bukan sekadar solidaritas sebagai perempuan, tapi lebih kepada upaya sesegera mungkin menyelamatkan diri dari orang yang tidak tepat.

Tidak seperti Mawar, seorang kenalanku yang terus berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga, dan pada akhirnya tumbang juga di usia 8 tahun pernikahan mereka.

Di 8 tahun itu, sudah banyak luka tercipta. Ada anak-anak yang ikut jadi korban, tak hanya tiga anaknya di pernikahan ini. Tapi juga dua anak di pernikahan sebelumnya.

Pertama, Mawar menikah dengan seorang duda anak satu. Setelah 7 tahun, suaminya ketahuan selingkuh dan mereka bercerai. Tak butuh waktu lama bagi Mawar untuk mencari ganti, seorang lajang kemudian berniat mempersuntingnya.

Kata orang, cinta itu buta. Tapi kalau boleh menganalisis, kulihat Mawar tidak sedang dimabuk cinta, melainkan tersulut dendam. Sebab mantan suaminya sebentar saja sudah gonta-ganti pacar. Sepertinya Mawar ingin membuktikan bahwa ia juga masih laku.

Sehingga, selama berpacaran dengan calon suaminya, Mawar seperti tak bisa berpikir jernih. Alih-alih bantu membayarkan biaya urus surat perceraian dari suami lama, pacarnya bahkan butuh bantuan dana hanya untuk DP motor matic.

Belum jadi suami, sang pacar yang ia harap bisa jadi imam yang baik itu, pernah ngamuk sampai membanting HP di depan kakak kandung Mawar. Hampir semua saudara Mawar mewanti-wanti, yakin mau menikah dengan orang seperti itu?

Mawar mungkin tidak buta karena cinta, tapi dia budek gara-gara dendam. Ia nekat menikah dengan pacarnya yang sejak awal kami, kenalannya, memprediksi tak lebih baik dari suami pertamanya.

Ketika Mawar melahirkan anak ketiga, anak pertama dari suami kedua, makin terbukti apa yang kami khawatirkan. Suami barunya mulai menjauhkan Mawar dari anak pertama dan keduanya.

Bertambah anak, bertambah pula jarak antara Mawar dan anak-anak dari suaminya yang pertama. Puncaknya, ketika mereka akhirnya memiliki rumah sendiri (sebelumnya tinggal di paviliun rumah orangtua Mawar, dua anak pertama tinggal bersama orangtua di sebelah), tanpa malu-malu sang suami mengusir anak-anak tirinya.

Setelah bertahun-tahun menyembunyikan derita hati dari kami (tapi disajikan bertubi-tubi di status medsos), akhirnya Mawar mengaku menderita di sepanjang pernikahan keduanya. Jauh lebih memilukan daripada pernikahan yang pertama.

Setiap suaminya marah, Mawar dimaki dengan sebutan lon**. Bahkan anak pertamanya pun dipanggil demikian. Suaminya yang masa pacaran dulu mengaku siap menanggung anak-anaknya dari suami pertama, setelah punya anak sendiri, mengaku capek kerja hanya untuk memberi makan anak orang lain.

Mawar mengaku hampir gila, karena suaminya tak sudi anak-anak dari suami pertama hidup bersama mereka. Sempat diturutinya dengan menitipkan dua anak itu kepada saudaranya. Tapi karena psikis anak-anak ini pun rusak akibat trauma di rumah, mereka jadi anak yang cukup merepotkan orang lain.

Keduanya suka mencuri, kabur tak jelas juntrungan, dan aneka tingkah nyeleneh sebagai akibat dari buruknya pola asuh dari orang dewasa di sekitar mereka.

Dan akhirnya, meski terlambat, Mawar tetap memilih anak-anaknya. Disaksikan keluarga dan tetangga, Mawar terpaksa meminta bantuan orangtua untuk mengusir suaminya dari rumah pemberian orangtua Mawar itu.

"Seburuk-buruk anak, mereka tetap anakku. Biarlah aku kehilangan suami, daripada kehilangan anak." Demikian kira-kira ucapan Mawar. Kali ini aku dkk mendukungnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun