Sehingga, selama berpacaran dengan calon suaminya, Mawar seperti tak bisa berpikir jernih. Alih-alih bantu membayarkan biaya urus surat perceraian dari suami lama, pacarnya bahkan butuh bantuan dana hanya untuk DP motor matic.
Belum jadi suami, sang pacar yang ia harap bisa jadi imam yang baik itu, pernah ngamuk sampai membanting HP di depan kakak kandung Mawar. Hampir semua saudara Mawar mewanti-wanti, yakin mau menikah dengan orang seperti itu?
Mawar mungkin tidak buta karena cinta, tapi dia budek gara-gara dendam. Ia nekat menikah dengan pacarnya yang sejak awal kami, kenalannya, memprediksi tak lebih baik dari suami pertamanya.
Ketika Mawar melahirkan anak ketiga, anak pertama dari suami kedua, makin terbukti apa yang kami khawatirkan. Suami barunya mulai menjauhkan Mawar dari anak pertama dan keduanya.
Bertambah anak, bertambah pula jarak antara Mawar dan anak-anak dari suaminya yang pertama. Puncaknya, ketika mereka akhirnya memiliki rumah sendiri (sebelumnya tinggal di paviliun rumah orangtua Mawar, dua anak pertama tinggal bersama orangtua di sebelah), tanpa malu-malu sang suami mengusir anak-anak tirinya.
Setelah bertahun-tahun menyembunyikan derita hati dari kami (tapi disajikan bertubi-tubi di status medsos), akhirnya Mawar mengaku menderita di sepanjang pernikahan keduanya. Jauh lebih memilukan daripada pernikahan yang pertama.
Setiap suaminya marah, Mawar dimaki dengan sebutan lon**. Bahkan anak pertamanya pun dipanggil demikian. Suaminya yang masa pacaran dulu mengaku siap menanggung anak-anaknya dari suami pertama, setelah punya anak sendiri, mengaku capek kerja hanya untuk memberi makan anak orang lain.
Mawar mengaku hampir gila, karena suaminya tak sudi anak-anak dari suami pertama hidup bersama mereka. Sempat diturutinya dengan menitipkan dua anak itu kepada saudaranya. Tapi karena psikis anak-anak ini pun rusak akibat trauma di rumah, mereka jadi anak yang cukup merepotkan orang lain.
Keduanya suka mencuri, kabur tak jelas juntrungan, dan aneka tingkah nyeleneh sebagai akibat dari buruknya pola asuh dari orang dewasa di sekitar mereka.
Dan akhirnya, meski terlambat, Mawar tetap memilih anak-anaknya. Disaksikan keluarga dan tetangga, Mawar terpaksa meminta bantuan orangtua untuk mengusir suaminya dari rumah pemberian orangtua Mawar itu.
"Seburuk-buruk anak, mereka tetap anakku. Biarlah aku kehilangan suami, daripada kehilangan anak." Demikian kira-kira ucapan Mawar. Kali ini aku dkk mendukungnya.