Dulu kami sering menyebutnya "anak stres", istilah untuk anak pertama yang jadi korban masa sulit ibunya saat hamil perdana.
Ketiga senior di kantor dulu memiliki anak dengan tipikal ini. Labil dan temperamen, itulah kekhasan anak-anak sulung dari mereka. Jika sedang tantrum, apa saja yang ada di dekatnya, dibanting tanpa peduli apa pun.
Para gadis pasti shock. Tapi yang sudah menikah paham betul, dan lebih sering berusaha maklum. Kami tahu, emaknya dulu waktu hamil pasti stres.
Tidak aneh, hamil untuk pertama kalinya tentu jadi ujian tersendiri. Yang pacaran sebelum menikah pun, belum tentu paham betul bagaimana tabiat suaminya. Sebelum nikah yang terlihat hanya yang baik-baik, setelah menikah terbongkarlah semua.
Hidup dengan orang lain, yang baru dikenal. Perut tak nyaman, kadang bahkan sampai opname di rumah sakit. Bagus jika suaminya paham, memenuhi kebutuhan dan memudahkan segala urusan. Kalau sebaliknya?
Itulah kenapa kami menyebut para sulung itu anak stres. Maksudnya, anak yang dilahirkan dari kehamilan yang dilewati dalam keadaan stres. Alhamdulillah, seiring bertambahnya usia dan pola asuh yang baik, sekarang ketiganya tidak lagi demikian.
Studi yang dilakukan oleh peneliti dari University of Oregon dan University of Illinios menemukan bahwa bayi yang terpapar depresi maternal boleh jadi mengalami emosi yang lebih negatif.
Aku ketika masih hamil, belum lagi melahirkan, diingatkan oleh dokter kandungan, "Jangan stres, nanti ASI-nya macet!"
Begitu besar pengaruh stres. Baik untuk diri sendiri, orang-orang terdekat, sampai pada lingkungan sekitar.
Tapi hubungan ibu-anak tak hanya sebatas di masa hamil maupun menyusui. Setelah mereka lahir, dalam usia yang jauh dari nalar, anak tetap terhubung dengan ibunya. Aku punya pengalaman terkait hal tersebut.
Pertama ketika aku harus menemani keponakan yang ditinggal kerja orangtuanya. Waktu itu aku belum menikah, diminta kakakku menunggui anaknya di rumah. Entah itu bulan Ramadan atau bukan, yang jelas saat itu aku sedang puasa dan mengatakannya pada kakakku.
Tapi sampai magrib, kakakku tak juga pulang. Kuhubungi berkali-kali tak ada respons. Nahasnya lagi, tak satu penjual makanan pun yang lewat, dan waktu itu belum ada go food atau yang sejenisnya.
Akhirnya aku ngomel di depan keponakan yang waktu itu baru fasih berlari. Ia yang tadinya ceria, tahu-tahu terdiam. Memandang keluar dengan wajah sendu. Aku masih ngedumel meski kali ini tidak di depannya.
Tapi mungkin karena suaraku masih tertangkap telinganya, keponakanku berlari ke kamar, lalu menangkupkan wajah di atas kasur sambil menangis memanggil ibunya. Duh, aku ikut nangis karena merasa bersalah.
Sampai sekarang aku masih merasa utang dosa pada bocah laki-laki yang kini sudah kelas 5 itu.
Pengalaman selanjutnya kualami sendiri, dan ini lebih luar biasa. Karena yang terhubung dengan anakku bukan hanya ibu, tapi juga ayahnya.
Waktu itu aku terpaksa menitipkan si kakak di rumah eyangnya (mertuaku). Aku dan suami sama-sama bekerja, sedangkan usia kakak belum cukup untuk disekolahkan, di play group sekalipun.
Suatu kali, ketika aku datang menjemput. Tak seperti biasanya, si kakak yang saat itu bisa dibilang belum mampu bicara, berlari mengambil tasnya, kemudian memelukku dan meminta untuk segera pulang.
Ia begitu mendesak. Tidak menangis, lebih pada perasaan marah yang nampak pada wajah dan gelagatnya.
Ketika membereskan barang-barang, kudengarlah suara orang yang sedang menggunjing suamiku. Suaranya sengaja dikeraskan, mungkin agar aku mendengar dan bereaksi. Makin aku dekat, makin keras ia berucap.
Kugendong saja si kakak, pamit pulang. Makanlah dosa itu untukmu, aku tak ikut campur.
Di kemudian hari kuketahui bahwa suamiku terfitnah memaki seseorang dengan ujaran sangat kasar. Syukurnya di lingkungan rumah mertua, suamiku dikenal tidak begitu. Dan banyak saksi yang mengatakan bahwa bukan suamiku pelakunya.
Sampai sekarang tak ada ucapan maaf kami terima. Biarlah, yang penting si kakak sudah lupa. Bahkan kini ia sering bermain dengan anak dari orang yang dulu pernah menghina bapaknya di depan muka emaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H