Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ibu dan Lingkungan sebagai Biang Stresnya Anak

22 Juni 2020   19:33 Diperbarui: 22 Juni 2020   19:29 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu kami sering menyebutnya "anak stres", istilah untuk anak pertama yang jadi korban masa sulit ibunya saat hamil perdana.

Ketiga senior di kantor dulu memiliki anak dengan tipikal ini. Labil dan temperamen, itulah kekhasan anak-anak sulung dari mereka. Jika sedang tantrum, apa saja yang ada di dekatnya, dibanting tanpa peduli apa pun.

Para gadis pasti shock. Tapi yang sudah menikah paham betul, dan lebih sering berusaha maklum. Kami tahu, emaknya dulu waktu hamil pasti stres.

Tidak aneh, hamil untuk pertama kalinya tentu jadi ujian tersendiri. Yang pacaran sebelum menikah pun, belum tentu paham betul bagaimana tabiat suaminya. Sebelum nikah yang terlihat hanya yang baik-baik, setelah menikah terbongkarlah semua.

Hidup dengan orang lain, yang baru dikenal. Perut tak nyaman, kadang bahkan sampai opname di rumah sakit. Bagus jika suaminya paham, memenuhi kebutuhan dan memudahkan segala urusan. Kalau sebaliknya?

Itulah kenapa kami menyebut para sulung itu anak stres. Maksudnya, anak yang dilahirkan dari kehamilan yang dilewati dalam keadaan stres. Alhamdulillah, seiring bertambahnya usia dan pola asuh yang baik, sekarang ketiganya tidak lagi demikian.

Studi yang dilakukan oleh peneliti dari University of Oregon dan University of Illinios menemukan bahwa bayi yang terpapar depresi maternal boleh jadi mengalami emosi yang lebih negatif.

Aku ketika masih hamil, belum lagi melahirkan, diingatkan oleh dokter kandungan, "Jangan stres, nanti ASI-nya macet!"

Begitu besar pengaruh stres. Baik untuk diri sendiri, orang-orang terdekat, sampai pada lingkungan sekitar.

Tapi hubungan ibu-anak tak hanya sebatas di masa hamil maupun menyusui. Setelah mereka lahir, dalam usia yang jauh dari nalar, anak tetap terhubung dengan ibunya. Aku punya pengalaman terkait hal tersebut.

Pertama ketika aku harus menemani keponakan yang ditinggal kerja orangtuanya. Waktu itu aku belum menikah, diminta kakakku menunggui anaknya di rumah. Entah itu bulan Ramadan atau bukan, yang jelas saat itu aku sedang puasa dan mengatakannya pada kakakku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun