Tapi akhirnya Youtube menolong kami! Ketika nama mainan kucari di Youtube, aku dan anak-anak merasa terkecoh sekaligus merasa beruntung.
Mainan yang di fotonya tampak seukuran dengan seorang anak, nyatanya hanya seukuran tangan mereka! Kalau saja kami jadi membeli, lebih mungkin kupakai sapu itu untuk menyapu debu di laptop daripada dipakai si adek mengumpulkan mainan. Efek digital.
Anak Perempuan Main Pistol?
Jadi kami beralih ke toko dan mainan lain. Kubiarkan anak-anak mencari dan memasukkan mainan apa saja ke keranjang. Bukan untuk dibeli semua, nantinya akan kusortir sebelum membayar.
Pada akhirnya yang dipilih anak-anak adalah uno stacko dan pistol air. Kedua anakku perempuan semua, tapi kubiarkan mereka memilih pistol, yang bagi sebagian orang adalah mainan khusus anak laki-laki.
Bahkan dalam obrolan kami suatu hari, kukatakan pada mereka jika suatu saat dianugerahkan anak laki-laki, adik mereka itu akan kuajari cara menyapu rumah dan membiasakannya mencuci piring. Tugas rumah tangga tak punya jenis kelamin!
Jadi sejak awal tidak ada pembagian anak perempuan harus main boneka agar besar bisa nyebokin anak. Anak laki-laki main mobilan agar bisa nyetir. Laki-laki dan perempuan harus sama-sama bisa urus anak, sama-sama bisa bawa motor dan mobil.
Yang pasti laki-laki dilahirkan sebagai pemimpin keluarga, perempuan sebagai pendamping. Keduanya punya hak dan kewajiban yang saling melengkapi.
Mainan Banyak Aturan yang Dimainkan Tanpa Aturan
Anakku lebih dulu mengenal uno stacko, mainan berupa balok yang edukatif sekali. Kami memainkannya begitu saja, tarik balok bawah, letakkan di atas. Yang merobohkan berarti kalah.
Kucoba mempelajari dan mengajarkan pada anak-anak. Si kakak yang sadar kalau emaknya pun tak begitu paham, memberi solusi.
"Sudahlah, Mi. Main suko-suko kitolah. Sudahlah belajar untuk ujian, belajar itu lagi!"