Dalam perjalanan menuju Titian Gentala Arasy, melintasi Arab Melayu, kuperhatikan beberapa rumah mendapat stempel merah.
Awalnya kukira itu semacam "tanda dipermalukan ala bank", tapi melihat banyak dari rumah tersebut yang kurang cocok untuk jadi agunan, maka kuperhatikan lagi tulisan yang tertera di sana.
Sayang aku hanya mengambil satu gambar, itu pun dari jarak jauh. Yang ketika di-zoom tidak terbaca. Kenapa dibidik dari jauh? Menjaga perasaan yang punya rumah, khawatir salah paham atau tersinggung.
Kenapa aku tertarik mengambil gambar? Karena merasa heran. Perlu ya, orang miskin diberi stempel?
Karena aku yang jarang keluar selama pandemi atau memang tak perhatian, stempel serupa tak pernah kulihat di wilayah bagian selatan Sungai Batanghari yang membelah Kota Jambi. Di bagian utara ini yang banyak.
Dari menjelang Jembatan Aurduri hingga melewati Menara Gentala Arasy, ikon Provinsi Jambi yang terkenal itu, menuju Tahtul Yaman.
Bagaimana ya mendeskripsikannya, walaupun tak termasuk warga yang mendapat stempel maupun bantuannya, tapi aku tak nyaman melihat tanda itu. Entahlah, sulit dijelaskan.
Tapi berbeda dengan video viral yang pernah (atau masih beredar?) tentang penerima bantuan yang difoto. Pernah lihat? Rekaman video itu sepertinya diambil di India, kemudian dibuat captionnya oleh kreator Indonesia.
Opini yang muncul di video itu adalah tentang tidak etisnya memberi bantuan sembari mengambil gambar, atau merekam kegiatan serah terima yang tengah berlangsung.
Aku tidak setuju pada stempel miskin tapi tak setuju pula pada caption yang ditempelkan pada video tersebut. Jika stempel membuat tak nyaman, caption video menurutku berlebihan.